Original Research

Eksplorasi Perubahan Fisik dan Gejolak Emosional pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis: Pendekatan Kualitatif

Exploration of Physical Changes and Emotional Fluctuations of Chronic Renal Failure Patients Underwent Hemodialysis: A Qualitative Approach

Lilin Rosyanti
Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Kendari, Indonesia
Indriono Hadi
Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Kendari, Indonesia
Kusman Ibrahim
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Padjadjaran, Indonesia

Health Information: Jurnal Penelitian

Poltekkes Kemenkes Kendari, Indonesia

ISSN: 2085-0840

ISSN-e: 2622-5905

Periodicity: Bianual

vol. 10, no. 2, 2018

jurnaldanhakcipta@poltekkes-kdi.ac.id

Published: 30 December 2018



DOI: https://doi.org/10.36990/hijp.v10i2.83

Corresponding author: lilin6rosyati@gmail.com

Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License that allows others to share the work with an acknowledgment of the works authorship and initial publication in this journal and able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journals published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book).

Abstract: Patients with terminal kidney failure report limitations and physical changes, psychological functions, and weaknesses that have a negative effect on health status and a decrease in survival. Progress in dialysis technology and disease management still raises many complaints both physically and psychologically by increasing the mortality rate of patients undergoing hemodialysis. In 2008, there were about 1.75 million patients worldwide who regularly received kidney replacement therapy in the form of dialysis, about 1.55 (89%) million underwent hemodialysis (HD) and around 197.000 (11%) used peritoneal dialysis (PD). This research explored the experience of hemodialysis patients with physical changes and emotional turmoil. This was a descriptive qualitative research that aimed to reveal broadly and deeply the causes and things that influenced the pattern of life behavior of patients from aspects of sexuality. The study found two categories of themes (1) physical changes and physical complaints: black facial skin, damaged teeth,body thin, body weak, and fatigue. (2) feeling and emotional turmoil: not accepting and fearing death, feeling helpless and useless, apologizing and suggesting that the couple remarry. The exploration experience of physical changes and emotional turmoil of hemodialysis patients were influenced by physical, physiological, psychological, social and spiritual aspects as well as values, cultures that exist in the lives of participants.

Keywords: Chronic renal failure, Hemodialysis, Experience.

Ringkasan: Pasien dengan gagal ginjal kronis melaporkan keterbatasan dan perubahan fisik, fungsi psikologis, dan kelemahan yang berdampak negatif pada status kesehatan dan penurunan kelangsungan hidup. Kemajuan teknologi cuci darah dan penanganan penyakit masih banyak menimbulkan keluhan baik fisik maupun psikis dengan meningkatkan angka kematian pasien yang menjalani hemodialisis. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 1,75 juta pasien di seluruh dunia yang rutin menerima terapi penggantian ginjal berupa dialisis, sekitar 1,55 (89%) juta menjalani hemodialisis (HD) dan sekitar 197.000 (11%) menggunakan peritoneal dialysis (PD). Penelitian ini mengeksplorasi pengalaman pasien hemodialisis pada perubahan fisik dan gejolak emosi yang mempengaruhi pola perilaku hidup pasien dari aspek seksualitas. Hasil penelitian menemukan dua kategori tema, yaitu (1) perubahan fisik dan keluhan fisik: kulit wajah menghitam, gigi rusak, badan kurus, badan lemah, dan cepat lelah; (2) perasaan dan gejolak emosi yang dirasakan: tidak menerima dan takut mati, merasa tidak berdaya dan tidak berguna, meminta maaf dan menganjurkan agar pasangan menikah lagi. Pengalaman eksplorasi perubahan fisik dan gejolak emosi pasien hemodialisis dipengaruhi oleh aspek fisik, fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual serta nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan peserta.

Kata kunci: Gagal ginjal kronik, Hemodialisis, Pengalaman .

PENDAHULUAN

Data IRR, Indonesian Renal Registry, pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis pada tahun 2009 berjumlah 5.450 pasien, tahun 2010 sebanyak 8.034, dan tahun 2011 sebanyak 12.804. Jawa Barat salah satu provinsi yang berkontribusi jumlah penderita GGK (Gagal Ginjal Kronis) terbesar, yang menjalani hemodialisis pada tahun 2009 berjumlah 2.003 pasien, tahun 2010 berjumlah 2.412 pasien, dan tahun 2011 berjumlah 3.038 pasien. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan jumlah pasien gagal ginjal kronis setiap tahun di Jawa Barat dan secara signifikan terjadi pertambahan pasien yang menjalani hemodialisis (Indonesian Renal Registry, 2012).

Kualitas hidup mengandung makna yang subjektif yaitu sejauh mana seseorang dapat merasakan kepuasan atau ketidak puasan terhadap aspek tertentu yang berperan penting dalam hidupnya. Hemodialisis yang dilakukan membantu memperlama usia hidup penderita GGK, tetapi tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien akan tetap mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi (Corwin, 2009).

Respons individu terhadap tindakan hemodialisis berproses melalui pembelajaran pengalaman masa lalu, persepsi, emosi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Rangsangan yang berhubungan dengan tindakan hemodialisis sering memicu persepsi dan pengalaman isolasi sosial dan ketidakpastian karena periode ketidakstabilan waktu dan upaya yang diperlukan untuk kembali stabil (Pelletier-Hibbert & Sohi, 2001).

Perubahan fisik, psikososial dan kekhawatiran yang berkaitan dengan hemodialisis termasuk seringnya tusukan pada pigmentasi kulit arteri dan vena dan adanya perubahan penampilan, keterbatasan mobilitas fisik, makanan dan pembatasan cairan, kelelahan, biaya perawatan, perubahan peran dalam keluarga, dan perasaan tidak mampu (Burns, 2004). Terjadi penurunan kualitas hidup dan status fungsional pasien hemodialisis, adanya hubungan antara meningkatnya keparahan gangguan fungsi ginjal dan peningkatan prevalensi kesehatan, menurunnya kesejahteraan, perubahan fungsi fisik dan meningkatnya prevalensi depresi (McClellan et al., 2010).

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai masalah yang berpengaruh terhadap kehidupan. Perubahan pada sistem dan fungsi tubuh yang menyebabkan perubahan fisik, penampilan, peran, mobilitas fisik, perasaan dan pekerjaan sehari-hari (Weisbord et al., 2007).

METODE

Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan desain deskriptif kualitatif eksploratif untuk memberikan gambaran yang mendalam dari perubahan fisik dan gejolak emosional pasien GGK selama menjalani hemodialisis (Sandelowski, 2000).

Lokasi, Waktu, Populasi, dan Sampel

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada populasi pasien yang menjalani hemodialisis sejumlah 132 pasien. Siklus hemodialisis 2-3 kali seminggu, pasien telah menjalani hemodilisis selama 1-17 tahun, dan usia pasien antara 11-70 tahun, pada bulan Maret-Agustus 2012.

Sampel penelitian dalam metode kualitatif disebut sebagai partisipan (Moleong, 2018). Perekrutan partisipan menggunakan metode purposive sampling (Sugiyono, 2016). Jumlah partisipan yang dipilih sebanyak 10 partisipan yang didasarkan pada pertimbangan yaitu kooperatif (sadar dan bisa diajak kerjasama), bersedia menjadi partisipan, menjalani terapi hemodialisis, menikah dan tinggal bersama pasangannya. Tidak ada yang drop out selama perekrutan.

Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data

Setelah ijin ethical clearence keluar dengan No. 42/UN6.C2.1.2/KEPK/PN/2012, pada tanggal 9 maret 2012 peneliti melakukan observasi dan menjalin rapport dengan partisipan dan keluarganya, perawat, dokter dan lingkungan ruangan hemodialisis. Setelah terjalin hubungan saling percaya, peneliti memulai proses wawancara secara mendalam. Peneliti juga melakukan studi dokumentasi terhadap catatan-catatan perkembangan penyakit partisipan. Perawat diruangan hemodialisis merupakan sumber informasi dan diminta untuk membantu mengidentifikasi calon partisipan lainnya.

Analisis data penelitian ini menggunakan metode content analysis. Content analysis merupakan sebuah prosedur mengkategorikan data verbal atau perilaku, untuk tujuan klasifikasi, membuat ringkasan dan tabulasi. Proses ini melibatkan koding dan pengelompokkan data, hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memilah pesan penting dari hasil wawancara. Data ditampilkan dalam bentuk narasi, informasi tersusun sesuai dengan urutan partisipan sehingga mudah diamati. Dari tema umum yang didapatkan selanjutnya dianalisis berdasarkan teori dan konsep yang relevan dan diinterpretasikan (Hancock, 2002).

HASIL

Karakteristik Partisipan

Partisipan dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 5 orang dan partisipan perempuan berjumlah 5 orang dengan rentang umur 39–60 tahun. Pendidikan partisipan adalah sarjana 4 partisipan; SLTA 2 partisipan, SLTP 3 partisipan dan SD 1 partisipan. 5 partisipan bekerja sebagai PNS, 3 partisipan adalah pensiunan dini, 1 partisipan sebagai pedagang, 1 partisipan bekerja pada perusahaan swasta, dan 3 partisipan lainnya seorang ibu rumah tangga. Semua partisipan beragama Islam, suku Sunda 9 partisipan dan suku Jawa 1 partisipan.

Perubahan Fisik dan Aktivitas Fisik

Kulit wajah hitam, gigi rusak, badan kurus

Badan lemah, lemas dan cepat capek

Perasaan dan Gejolak Emosional

Tidak terima dan ketakutan akan kematian

Perasaan tidak berdaya dan merasa hidup tidak berguna

Kasihan, meminta maaf dan menyarankan pasangan menikah lagi

PEMBAHASAN

Terdapat delapan dari sepuluh partisipan mengungkapkan bahwa kulitnya menjadi hitam, terutama pada bagian wajah. Selain kulit wajah menjadi hitam juga terlihat kusam, kasar dan terlihat lebih tua. Hal ini mempengaruhi persepsi diri partisipan. Mereka menjadi minder dan kurang percaya diri.

Berdasarkan pendekatan teori, apa yang dirasakan oleh partisipan merupakan tanda dan gejala dari gangguan fungsi ginjal. Pada sistem integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, echymosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar (Smeltzer et al., 2001). Pigmentasi yang tidak merata pada kulit yang terlihat sebagai bercak-bercak pigmentasi, yang disebabkan oleh penumpukan pigmen melanin secara tidak teratur dalam sel-sel basal di epidermis. Hal ini yang menyebabkan kulit pasien semakin hitam.

Perubahan kulit, penimbunan pigmen urin (terutama urokrom) bersama anemia pada insufisiensi ginjal lanjut akan menyebabkan kulit pasien menjadi putih seakan-akan berlilin dan kekuning-kuningan. Pada orang berkulit coklat, kulit akan berwarna coklat kekuningan, sedangkan pada orang kulit hitam akan berwarna abu-abu bersemu kuning, terutama di daerah telapak tangan dan kaki. Kulit mungkin menjadi kering dan bersisik, sedangkan rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit echymosis akibat gangguan hematologis, urea terakumulasi, yang mengarah ke azotemia dan akhirnya uremia dan urea diekskresikan oleh keringat dan mengkristal pada kulit yang dikenal dengan frost uremic.

Perubahan dalam penampilan fisik akibat penyakit GGK bervariasi dan berbeda antara pasien yang menjalani hemodialisis. Kadang-kadang kulit dapat menjadi lebih pucat, kering dan bersisik dan pasien mungkin ingin menggunakan kosmetik untukmengubah warna kulit mereka. Perubahan dapat terjadi pada berat badan, karena kehilangan cairan atau retensi. Pasien mengalami perubahan rasa dan bau napas yang berbeda, berbau khas ureum akibat racun yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal (Mauer, 1990).

Adanya gangguan citra tubuh akibat hilangnya fungsi tubuh, akan dialami beberapa pasien GGK. Mereka secara tidak sadar menganggap diri mereka tidak lengkap (cacat), karena mesin dialisis merupakan pengganti ginjal dan dirasakan sebagai bagian dari tubuhnya. Perasaan ini membuat adanya perasaan tidak lengkap (Mauer, 1990).

Pada pasien dengan gagal ginjal yang menjalani dialisis, adanya keluhan mual, muntah, tidak ada nafsu makan maupun penurunan berat badan harus dievaluasi secara hati-hati, diperkirakan penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Malnutrisi pada gagal ginjal kronis disebabkan oleh toksin uremi dan oleh prosedur hemodialisa. Anoreksia sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis. Pada pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya akan berkembang Protein Energy Malnutrition (PEM). Beberapa studi memperkirakan bahwa pasien dengan gagal ginjal akan memiliki asupan energi dan protein yang tidak cukup bahkan pada saat awal berkembangnya penyakit. Anoreksia merupakan salah satu faktor penyebab dari rendahnya konsumsi makanan dan dapat berakibat pada gangguan hormonal. Faktor penyebab lainnya adalah nausea dan vomiting, pembatasan diet, uremia dan pengobatan. Kehilangan zat gizi berkontribusi pada malnutrisi dan disebabkan akibat dari vomiting, diare, pendarahan sistem pencernaan, concurrent catabolic illness dan dialisis (Kusuma, 2006).

Kejadian anoreksia pada pasien-pasien hemodialisa sekitar sepertiga dari jumlah pasien hemodialisa (HD). Dalam penelitian dengan jumlah sampel 331 ini, terjadi penurunan nafsu makan pada pasien HD sejumlah 124 pasien. Nafsu makan berkurang (38%), tidak ada nafsu makan (7%), dan nafsu makan baik (31%). Demikian pula, dalam studi pasien HD yang lain, 1/3 dari pasien HD dengan jumlah 1846, melaporkan nafsu makan berkurang (23,8% ), dan sangat kurang (8,8%), terdapat anoreksia (37,8%). Menariknya, dilaporkan bahwa persentase yang lebih tinggi dari pasien yang memiliki nafsu makan buruk (12,7%), pada hari ketika dialisis dan (5,4%) ketika tidak menjalani dialisis (Bossola et al., 2006).

Pada GGK dan pengobatan yang diberikan akan menyebabkan perubahan besar dalam gaya hidup pasien yang membuat frustrasi dalam semua aspek kehidupan, termasuk pembatasan asupan makanan dan cairan. Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh ke dalam keadaan malnutrisi. Pasien dengan gagal ginjal mengalami penurunan berat badan yang disertai pembengkakan tubuh dan perubahan pada pengecapan rasa makanan. Pasien sering tidak mau makan banyak karena adanya pembatasan diet.

Perasaan lemah dan lemas diungkapkan oleh delapan dari sepuluh partisipan. Makna lemah dan lemas yang mereka rasakan disebabkan karena mereka tidak memiliki energi atau tenaga yang cukup untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Fungsi ginjal sebagai penyaring darah dari sisa-sisa metabolisme menjadikan keberadaannya tidak dapat tergantikan oleh organ tubuh lainnya. Kerusakan atau gangguan pada ginjal menimbulkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh. Akibatnya, aktivitas terganggu dan tubuh jadi mudah letih dan lemas (Colvy, 2010). Salah satu fungsi ginjal yaitu memproduksi hormon erythropoietin, karena fungsi ginjal rusak, sintesis hormon menurun sehingga berpotensi menyebabkan anemia, dan hal tersebut menjadikan penderita mengalami kelelahan, hilang nafsu makan, mual dan muntah. Kelelahan dan lemah dapat disebabkan oleh anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh.

Penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan sel darah merah akibat defisiensi pembentukan erythropoietin oleh ginjal dan masa hidup sel darah merah pada penderita gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel darah merah normal (Smeltzer et al., 2001).

Pasien HD sering mengalami kelelahan, sehingga mereka dapat tertidur setiap saat jika tidak ada aktivitas. Pengalaman kelelahan pasien berhubungan dengan kesulitan pasien secara fisik dan fungsional, dan ini mempengaruhi kegiatan sehari-hari mereka. Kelelahan fisik dan mental yang demikian harus dilihat sebagai aspek inti dalam proses dialisis. Hal ini berpengaruh dalam kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari karena kapasitas fungsional mereka berkurang.

Temuan tentang keterbatasan fisik dan kelelahan ini konsisten dengan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Shabalala (2004) melaporkan tingkat tinggi kelelahan, bersama dengan vitalitas yang rendah, motivasi berkurang, aktivitas berkurang dan kelelahan mental yang dialami oleh pasien hemodialisis dewasa. Kouidi (2004) berpendapat bahwa latihan pada pasien dialisis dalam peningkatan kapasitas fungsional, menunjukkan perbaikan pada psikologis dan peningkatan fungsi sosial.

Banyak pasien dengan gagal ginjal tidak mampu melakukan aktivitas fisik seperti sebelum mereka sakit, maka perlu ada pengaturan pembatasan aktivitas pada pasien HD. Aktivitas harus dibatasi, terutama yang terbiasa berenang atau olahraga aktif. Aktivitas yang dilakukan sebaiknya aktivitas yang dapat meningkatkan kekuatan dan daya tahan, mencegah kelelahan, stres dan depresi dan meningkatkan kualitas keseluruhan sehari-hari hidup. Dalam sebuah penelitian deskriptif korelasional yang dilakukan oleh McCann & Boore (2000) memeriksa adanya kelelahan dalam kelompok pasien hemodialisa usia dewasa, hasil penelitian tersebut mengindikasikan tingginya kasus kelelahan, disertai dengan vitalitas yang rendah dan motivasi berkurang. Henderson & Thuma (1994) menjelaskan bahwa penyakit kronis yang diderita pasien, seperti kondisi yang lemah dan kelelahan akan menyebabkan perubahan konsep diri dan harga diri seseorang sehingga memerlukan penyesuaian mobilisasi pertahanan dan mekanisme koping.

Diagnosis harus yang mengharuskan cuci darah adalah pengalaman menghancurkan bagi yang bersangkutan. Muncul reaksi yang salah satunya adalah takut akan ancaman kematian. Dialisis merupakan sumber kecemasan bagi pasien GGK karena kemungkinan komplikasi seperti infeksi, kemungkinan pendarahan sampai kematian jika selang AV shunt lepas dan kemungkinan terjadi pembekuan darah. Sumber ancaman kematian juga berasal pada kesadaran bahwa kelanjutan kehidupan bergantung dari variabel-variabel eksternal di luar kendali seperti obat, mesin HD, staf unit hemodialisa, sumber daya yang ada dan masyarakat (Mauer, 1990). Selain itu selalu terjadi reaksi penolakan yang dialami pasien gagal ginjal ketika awal diagnosis. Fase penolakan (denial) pasien terhadap penyakitnya karena adanya kecemasan akan tindakan yang akan diterimanya, hal ini terjadi terutama pada pasien yang masih menggunakan akses temporer karena tindakan pemasangan fistula tersebut dirasakan sangat sakit (Morton et al., 2012).

Pertahanan utama yang digunakan oleh pasien dengan dialisis adalah penyangkalan. Penolakan yang terjadi pada pasien HD akan menyebabkan terjadinya depresi. Pasien dialisis melindungi diri mereka terhadap stress yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya apapun yang tersedia. Tanpa persiapan diri dari diagnosa gagal ginja terminal, kenyataan tersebut mereka tidak pernah terima. Ada reaksi yang pasti, kebanyakan pasien memasuki masa penyangkalan. Mereka benar-benar tidak yakin bahwa ginjal mereka telah gagal.

Menurut Mauer (1990), ketakutan akan kematian adalah pemicu stres utama karena hemodialisis merupakan suatu usaha dari perjuangan untuk bertahan hidup. Untuk pasien HD, terjadi penurunan dan adanya ketakutan yang tidak dapat ditolerir bahwa kelangsungan hidup mereka sangat bergantung pada mesin dialisis. Pasien HD mengalami beberapa kecemasan tentang potensi masalah yang dapat muncul, salah satunya adalah kematian dini. Hal ini sesuai dalam penelitian Kouidi (2004) melaporkan bahwa pasien dialisis masih menghadapi stres akut dan kronis, meyakini bahwa kelangsungan hidup mereka bergantung sepenuhnya pada teknologi dan sarana buatan.

Penyakit kronis dan kebutuhan untuk perawatan yang terus menerus menyebabkan pasien mengalami perasaan tidak berdaya yang mengarah ke depresi. Pemindahan, isolasi perasaan, proyeksi dan pembentukan mekanisme pertahanan, semua reaksi digunakan oleh pasien HD. Ketakutan, kecemasan, kemarahan, penarikan reaksi, umum ditampilkan dalam adaptasi terhadap penyakit ginjal. Jika kemarahan dan permusuhan tidak diungkapkan, perasaan bersalah mulai timbul. Penarikan diri sebagai reaksi lain terjadi ketika kemarahan itu tidak dinyatakan secara langsung. Reaksi pasien HD yang situasional dan dilihat sebagai reaksi yang menyebabkan terjadinya stres berat (Fortner-Frazier, 1981).

Kejadian depresi sangat umum pada pasien GGK terutama yang menjalani terapi HD. Kimmel (2000) menyatakan bahwa pasien dialisis kronis mengalami banyak kerugian, termasuk hilangnya fungsi ginjal, kesejahteraan, tempat dalam keluarga dan tempat kerja, waktu, sumber daya keuangan dan fungsi seksual. Ini tidak mengejutkan bahwa sebagian besar pasien menderita depresi pada satu tahap atau pada tahap yang lain.

Depresi adalah masalah lain yang terlihat pada pasien dengan GGK. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McCann & Boore (2000) pada pasien HD, bahwa pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis dapat menyebabkan gangguan depresi dan kecemasan. Tidak bekerja merupakan pemicu stres utama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kimmel (2000) mengungkapkan bahwa persentase terbesar penduduk dengan penyakit GGK yang menganggur/tidak bekerja, sebagian karena usia tua, penyakit medis dan disinsentif sosial. Pasien dari latar belakang sosial ekonomi rendah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutan keuangan terapi hemodialisa. Pasien mungkin bekerja lebih sedikit atau tidak bekerja karena kondisi yang melemahkan dirinya (Kimmel, 2000). Adanya kemarahan, depresi dan keputusasaan nyata yang dialami pasien, sedangkan kesedihan yang dalam, kebencian, rasa bersalah dan kehilangan yang kadang dirasakan oleh pasangan.

Kondisi perilaku seksual seseorang dan pasangannya, baik yang sehat maupun yang tidak sehat mewarnai kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya, artinya perilaku seksual yang sehat dapat membuat hidupnya berkualitas dan sebaliknya perilaku seksual yang tidak sehat dapat membuat hidupnya tidak berkualitas. Pada akhirnya disfungsi seksual dapat mengganggu kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya.

Terapi hemodialisa akan menyebabkan kesulitan seksual pada laki-laki dan perempuan dengan gagal ginjal, terjadinya impotensi dan berkurangnya frekuensi orgasme selama hubungan seksual, dan pada perempuan, terjadinya penghentian menstruasi, berkurangnya kesuburan dan perubahan dalam penampilan yang dapat menyebabkan disfungsi seksual.

Berdasarkan ungkapan partisipan, perasaan kasihan dan meminta maaf kepada pasanganya merupakan refleksi dari ketidakmampuan dalam memberikan nafkah lahir maupun batin baik pada partisipan laki-laki maupun partisipan perempuan. Sehinga partisipan menganjurkan pasangan hidupnya untuk menikah, perkawinan tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan lahiriah saja tetapi juga bertujuan untuk mewujudkan kebahagian batiniah karena perkawinan bukan hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja, tetetapi juga merupakan hubungan batin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan fisik dan aktivitas fisik yang dialami pasien gagal ginjal kronis merupakan akibat dari kerusakan ginjal dan proses hemodialisis yang dijalani. Perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka seperti kulit wajah hitam, gigi rusak, badan kurus, badan lemah, lemas dan cepat capek yang berkontribusi pada menurunnya kualitas hidup. Perasaan dan gejolak emosional yang dirasakan pasien gagal ginjal kronis adalah tidak terima dan ketakutan akan kematian, adanya perasaan tidak berdaya dan merasa hidup tidak berguna, serta kasihan, meminta maaf dan menyarankan pasangan untuk menikah lagi. Adanya kecemasan, stres, dan perasaan depresi terhadap pasangan hidupnya merupakan aspek seksualitas yang ada pada pasien GGK.

DAFTAR PUSTAKA

Bossola, M., Tazza, L., Giungi, S., & Luciani, G. (2006). Anorexia in hemodialysis patients: An update. Kidney International, 70(3), 417–422. https://doi.org/10.1038/sj.ki.5001572

Burns, D. (2004). Physical and psychosocial adaptation of blacks on hemodialysis. Applied Nursing Research: ANR, 17(2), 116–124. https://doi.org/10.1016/j.apnr.2004.02.002

Colvy, J. (2010). Gagal Ginjal: Tips Cerdas Mengenali Dan Mencegah Gagal Ginjal. Dafa Publishing.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi (3rd ed.). EGC.

Fortner-Frazier, C. L. (1981). Social work and dialysis: The medical and psychosocial aspects of kidney disease. University of California Press.

Hancock, B. (2002). Trent Focus for Research and Development in Primary Health Care An Introduction to Qualitative Research. Tren Focus Group.

Henderson, L. W., & Thuma, R. S. (Eds.). (1994). Quality assurance in dialysis. Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-015-8297-1

Indonesian Renal Registry. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry. https://www.indonesianrenalregistry.org/data/5th%20Annual%20Report%20Of%20IRR%202012.pdf

Kimmel, P. L. (2000). Psychosocial factors in adult end-stage renal disease patients treated with hemodialysis: Correlates and outcomes. American Journal of Kidney Diseases: The Official Journal of the National Kidney Foundation, 35(4 Suppl 1), S132-140. https://doi.org/10.1016/s0272-6386(00)70240-x

Kouidi, E. (2004). Health-related quality of life in end-stage renal disease patients: The effects of renal rehabilitation. Clinical Nephrology, 61 Suppl 1, S60-71.

Kusuma, R. J. (2006). Management Diet Untuk Pasien Dengan Gagal Ginjal. In Scribd. https://www.scribd.com/doc/13066913/Management-Diet-Untuk-Pasien-Dengan-Gagal-Ginjal

Mauer, K. F. (1990). Book review: Clinical health psychology: a behavioural medicine perspective. South African Journal of Psychology, 20(4), 303–304. https://doi.org/10.1177/008124639002000411

McCann, K., & Boore, J. R. (2000). Fatigue in persons with renal failure who require maintenance haemodialysis. Journal of Advanced Nursing, 32(5), 1132–1142. https://doi.org/10.1046/j.1365-2648.2000.01584.x

McClellan, W. M., Abramson, J., Newsome, B., Temple, E., Wadley, V. G., Audhya, P., McClure, L. A., Howard, V. J., Warnock, D. G., & Kimmel, P. (2010). Physical and psychological burden of chronic kidney disease among older adults. American Journal of Nephrology, 31(4), 309–317. https://doi.org/10.1159/000285113

Moleong, L. J. (2018). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Remaja Rosdakarya.

Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8th ed., Vol. 2). EGC.

Pelletier-Hibbert, M., & Sohi, P. (2001). Sources of uncertainty and coping strategies used by family members of individuals living with end stage renal disease. Nephrology Nursing Journal: Journal of the American Nephrology Nurses’ Association, 28(4), 411–417, 419; discussion 418-419.

Sandelowski, M. (2000). Whatever happened to qualitative description? Research in Nursing & Health, 23(4), 334–340.

Shabalala, T. M. (2004). Factors that facilitate adherence to haemodialysis therapy amongst patients with chronic renal failure. [Thesis]. https://researchspace.ukzn.ac.za/handle/10413/3421

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hartono, A., & Kuncara, H. Y. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth. EGC.

Sugiyono, S. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta.

Weisbord, S. D., Fried, L. F., Mor, M. K., Resnick, A. L., Unruh, M. L., Palevsky, P. M., Levenson, D. J., Cooksey, S. H., Fine, M. J., Kimmel, P. L., & Arnold, R. M. (2007). Renal provider recognition of symptoms in patients on maintenance hemodialysis. Clinical Journal of the American Society of Nephrology: CJASN, 2(5), 960–967. https://doi.org/10.2215/CJN.00990207

Catatan kaki

Catatan Penerbit Poltekkes Kemenkes Kendari menyatakan tetap netral sehubungan dengan klaim dari perspektif atau buah pikiran yang diterbitkan dan dari afiliasi institusional manapun.

Author notes

lilin6rosyati@gmail.com

Non-profit publishing model to preserve the academic and open nature of scientific communication
HTML generated from XML JATS4R by