Original Research
Published: 30 December 2018
Corresponding author: lilin6rosyati@gmail.com
Abstract: Patients with terminal kidney failure report limitations and physical changes, psychological functions, and weaknesses that have a negative effect on health status and a decrease in survival. Progress in dialysis technology and disease management still raises many complaints both physically and psychologically by increasing the mortality rate of patients undergoing hemodialysis. In 2008, there were about 1.75 million patients worldwide who regularly received kidney replacement therapy in the form of dialysis, about 1.55 (89%) million underwent hemodialysis (HD) and around 197.000 (11%) used peritoneal dialysis (PD). This research explored the experience of hemodialysis patients with physical changes and emotional turmoil. This was a descriptive qualitative research that aimed to reveal broadly and deeply the causes and things that influenced the pattern of life behavior of patients from aspects of sexuality. The study found two categories of themes (1) physical changes and physical complaints: black facial skin, damaged teeth,body thin, body weak, and fatigue. (2) feeling and emotional turmoil: not accepting and fearing death, feeling helpless and useless, apologizing and suggesting that the couple remarry. The exploration experience of physical changes and emotional turmoil of hemodialysis patients were influenced by physical, physiological, psychological, social and spiritual aspects as well as values, cultures that exist in the lives of participants.
Keywords: Chronic renal failure, Hemodialysis, Experience.
Ringkasan: Pasien dengan gagal ginjal kronis melaporkan keterbatasan dan perubahan fisik, fungsi psikologis, dan kelemahan yang berdampak negatif pada status kesehatan dan penurunan kelangsungan hidup. Kemajuan teknologi cuci darah dan penanganan penyakit masih banyak menimbulkan keluhan baik fisik maupun psikis dengan meningkatkan angka kematian pasien yang menjalani hemodialisis. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 1,75 juta pasien di seluruh dunia yang rutin menerima terapi penggantian ginjal berupa dialisis, sekitar 1,55 (89%) juta menjalani hemodialisis (HD) dan sekitar 197.000 (11%) menggunakan peritoneal dialysis (PD). Penelitian ini mengeksplorasi pengalaman pasien hemodialisis pada perubahan fisik dan gejolak emosi yang mempengaruhi pola perilaku hidup pasien dari aspek seksualitas. Hasil penelitian menemukan dua kategori tema, yaitu (1) perubahan fisik dan keluhan fisik: kulit wajah menghitam, gigi rusak, badan kurus, badan lemah, dan cepat lelah; (2) perasaan dan gejolak emosi yang dirasakan: tidak menerima dan takut mati, merasa tidak berdaya dan tidak berguna, meminta maaf dan menganjurkan agar pasangan menikah lagi. Pengalaman eksplorasi perubahan fisik dan gejolak emosi pasien hemodialisis dipengaruhi oleh aspek fisik, fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual serta nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan peserta.
Kata kunci: Gagal ginjal kronik, Hemodialisis, Pengalaman .
PENDAHULUAN
Data IRR, Indonesian Renal Registry, pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis pada tahun 2009 berjumlah 5.450 pasien, tahun 2010 sebanyak 8.034, dan tahun 2011 sebanyak 12.804. Jawa Barat salah satu provinsi yang berkontribusi jumlah penderita GGK (Gagal Ginjal Kronis) terbesar, yang menjalani hemodialisis pada tahun 2009 berjumlah 2.003 pasien, tahun 2010 berjumlah 2.412 pasien, dan tahun 2011 berjumlah 3.038 pasien. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan jumlah pasien gagal ginjal kronis setiap tahun di Jawa Barat dan secara signifikan terjadi pertambahan pasien yang menjalani hemodialisis (Indonesian Renal Registry, 2012).
Kualitas hidup mengandung makna yang subjektif yaitu sejauh mana seseorang dapat merasakan kepuasan atau ketidak puasan terhadap aspek tertentu yang berperan penting dalam hidupnya. Hemodialisis yang dilakukan membantu memperlama usia hidup penderita GGK, tetapi tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien akan tetap mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi (Corwin, 2009).
Respons individu terhadap tindakan hemodialisis berproses melalui pembelajaran pengalaman masa lalu, persepsi, emosi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Rangsangan yang berhubungan dengan tindakan hemodialisis sering memicu persepsi dan pengalaman isolasi sosial dan ketidakpastian karena periode ketidakstabilan waktu dan upaya yang diperlukan untuk kembali stabil (Pelletier-Hibbert & Sohi, 2001).
Perubahan fisik, psikososial dan kekhawatiran yang berkaitan dengan hemodialisis termasuk seringnya tusukan pada pigmentasi kulit arteri dan vena dan adanya perubahan penampilan, keterbatasan mobilitas fisik, makanan dan pembatasan cairan, kelelahan, biaya perawatan, perubahan peran dalam keluarga, dan perasaan tidak mampu (Burns, 2004). Terjadi penurunan kualitas hidup dan status fungsional pasien hemodialisis, adanya hubungan antara meningkatnya keparahan gangguan fungsi ginjal dan peningkatan prevalensi kesehatan, menurunnya kesejahteraan, perubahan fungsi fisik dan meningkatnya prevalensi depresi (McClellan et al., 2010).
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai masalah yang berpengaruh terhadap kehidupan. Perubahan pada sistem dan fungsi tubuh yang menyebabkan perubahan fisik, penampilan, peran, mobilitas fisik, perasaan dan pekerjaan sehari-hari (Weisbord et al., 2007).
METODE
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan desain deskriptif kualitatif eksploratif untuk memberikan gambaran yang mendalam dari perubahan fisik dan gejolak emosional pasien GGK selama menjalani hemodialisis (Sandelowski, 2000).
Lokasi, Waktu, Populasi, dan Sampel
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada populasi pasien yang menjalani hemodialisis sejumlah 132 pasien. Siklus hemodialisis 2-3 kali seminggu, pasien telah menjalani hemodilisis selama 1-17 tahun, dan usia pasien antara 11-70 tahun, pada bulan Maret-Agustus 2012.
Sampel penelitian dalam metode kualitatif disebut sebagai partisipan (Moleong, 2018). Perekrutan partisipan menggunakan metode purposive sampling (Sugiyono, 2016). Jumlah partisipan yang dipilih sebanyak 10 partisipan yang didasarkan pada pertimbangan yaitu kooperatif (sadar dan bisa diajak kerjasama), bersedia menjadi partisipan, menjalani terapi hemodialisis, menikah dan tinggal bersama pasangannya. Tidak ada yang drop out selama perekrutan.
Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data
Setelah ijin ethical clearence keluar dengan No. 42/UN6.C2.1.2/KEPK/PN/2012, pada tanggal 9 maret 2012 peneliti melakukan observasi dan menjalin rapport dengan partisipan dan keluarganya, perawat, dokter dan lingkungan ruangan hemodialisis. Setelah terjalin hubungan saling percaya, peneliti memulai proses wawancara secara mendalam. Peneliti juga melakukan studi dokumentasi terhadap catatan-catatan perkembangan penyakit partisipan. Perawat diruangan hemodialisis merupakan sumber informasi dan diminta untuk membantu mengidentifikasi calon partisipan lainnya.
Analisis data penelitian ini menggunakan metode content analysis. Content analysis merupakan sebuah prosedur mengkategorikan data verbal atau perilaku, untuk tujuan klasifikasi, membuat ringkasan dan tabulasi. Proses ini melibatkan koding dan pengelompokkan data, hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memilah pesan penting dari hasil wawancara. Data ditampilkan dalam bentuk narasi, informasi tersusun sesuai dengan urutan partisipan sehingga mudah diamati. Dari tema umum yang didapatkan selanjutnya dianalisis berdasarkan teori dan konsep yang relevan dan diinterpretasikan (Hancock, 2002).
HASIL
Karakteristik Partisipan
Partisipan dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 5 orang dan partisipan perempuan berjumlah 5 orang dengan rentang umur 39–60 tahun. Pendidikan partisipan adalah sarjana 4 partisipan; SLTA 2 partisipan, SLTP 3 partisipan dan SD 1 partisipan. 5 partisipan bekerja sebagai PNS, 3 partisipan adalah pensiunan dini, 1 partisipan sebagai pedagang, 1 partisipan bekerja pada perusahaan swasta, dan 3 partisipan lainnya seorang ibu rumah tangga. Semua partisipan beragama Islam, suku Sunda 9 partisipan dan suku Jawa 1 partisipan.
Perubahan Fisik dan Aktivitas Fisik
Terdapat delapan partisipan yaitu partisipan ke-2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan ke-10 yang mengungkapkan bahwa kulitnya menjadi hitam, terutama pada bagian wajah. Selain kulit wajah menjadi hitam juga kusam, kasar dan terlihat lebih tua. Hal ini mempengaruhi persepsi diri partisipan. Mereka menjadi minder dan kurang percaya diri.
Pada umumnya semua pasien yang menjalani cuci darah sudah mengalami perubahan kulit menjadi hitam, selama mereka berada dalam ruang hemodialisa hal tersebut tidak mempengaruhi mereka, karena hampir semua pasien seperti itu, mereka merasa dalam satu lingkungan dan komunitas yang sama, adanya rasa senasib sehingga wajah yang menghitam dianggap biasa, tetetapi ketika mereka selesai dan keluar dari ruang cuci darah, pada umumya mereka merasakan perasaan kurang percaya diri, merasakan tatapan dari orang-orang sekelilingnya yang tidak mengetahui penyakit mereka.
Setiap ungkapan partisipan tentang perubahan kulit yang mereka alami, selalu diringi dengan keluhan perubahan berat badan yang menurun. Terdapat delapan partisipan, yaitu partisipan ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, dan ke-10 yang mengatakan bahwa sejak sakit tubuh mereka menjadi kurus. Ada partisipan yang menyatakan dengan berat badan yang menurun, ada juga yang menyatakan bahwa badannya menjadi lebih kurus dan kering, dan karena kurus, wajahnya kelihatan lebih tua. Mereka mengetahui berat badannya menurun karena sebelum dan sesudah cuci darah selalu dilakukan pengukuran berat badan. Partisipan menungkapkan berat badan yang menurun merupakan efek dari cuci darah dan penyakit GGK yang mereka derita. Sejak mereka dikatakan harus menjalani cuci darah, maka harus selalu menjaga berat badan agar tidak naik di antara waktu dialisis. Sehingga makananpun dijaga, tidak boleh makan sembarang, minum ditakar. Keluhan yang paling banyak adalah terjadinya penurunan nafsu makan, sehingga semakin hari mereka merasakan berat badannya semakin menurun. Kesempatan untuk makan enak hanya dapat terjadi ketika proses cuci darah sedang berlangsung, saat itu mereka dapat makan dengan bebas dan menikmati, tetetapi setelah pulang biasanya hari pertama masih terasa enak makan, tetetapi esok harinya makanan sudah tidak terasa lagi enaknya, jadi malas dan hilang nafsu makan, belum lagi adanya keharusan pembatasan makanan.
Peneliti membandingkan catatan berat badan sebelum cuci darah dan saat ini, terjadi penurunan yang bervariasi dengan rentang 5-20 kg. Beberapa partisipan terlihat sangat kurus, tulang-tulang menonjol, tetapi bagian perut yang membesar. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan:
"Efeknya kulit item, kurus mah udah pasti ya, kan sekarang makan mah dibatasi, minum juga sama, terus Hb kurang sejak sakit, nafsu makannya turun, terus tulang-tulang sakit kaya kurang kalsium gitu". (P3)
"Perubahan yang paling terasa berat badan menurun, warna kulit hitam, bengkak juga, ya beda dengan CAPD, sekarang mah makannya jadi malas, terus ngak boleh makan sembarang, waktu aku CAPD makan bebas, beda sekali dengan cuci darah". (P6)
"Lemas, wajah berubah agak kehitaman, berat badan turun, jadi terasa lebih tua, wajah kelihatan cepat tua, kadang ada gatal,tetapi hilang lagi, wajah saya sekarng hitam tetapi nggak ada masalah di sini banyak juga yang hitam". (P8)
Selain mengeluhkan kulit wajah yang menghitam, tubuh menjadi kurus, juga adanya keluhan bahwa akibat dari kulit wajah yang menghitam itu membuat diri mereka menjadi minder dan tidak percaya diri. Perasaan ini timbul dari perubahan fisik yang terjadi sejak sakit dan perubahannya sangat berbeda dengan sebelum sakit. Hal ini dikeluhkan oleh partisipan perempuan. Dulu, kulit wajahnya bersih dan putih, sekarang menjadi hitam, dulu kulit wajahnya halus dan segar sekarang menjadi kasar dan kusam. Hal tersebut mempengaruhi mereka dalam citra tubuh dan harga diri mereka sebagai wanita. Adanya perasaan tidak cantik dan menarik menyebabkan perasaan kurang nyaman, minder dalam proses interaksi dengan pasangan hidupnya, keluarga maupun dengan orang lain di sekitarnya. Seperti ungkapan beberapa partisipan di bawah ini:
“Sekarang rambutnya habis, giginya habis, kulitnya jadi kusam dan hitam asalnya bersih. Jadi banyak luka-luka di badan atau di jari-jari, kaki gitu, banyak luka keliatan, kalo udah luka lama mau sembuhnya. kulitnnya jadi rusak, kusam gitu, jadi kurang percaya diri”. (P2 )
“Kalau secara fisik begitulah sama, semua yang disisni sseperti itu, hitam kering, kurus, tadinya ibu tidak seperti itu kan sekarang kurus kering, dari kulit muka, ibu kan dulunya mukanya putih bersih, sekarang jadi hitam, itu penyebab mindernya ibu, sekarang ibu jadi seperti agak gosong, kelihatan lah”. (P9)
“Ngerasa kurang cantik, minder, mindernya asalnya kulitnya, nggak gini, jadi menghitam, asalnya tidak terlalu kurus jadi kurus, terus kulit asalnya lemes , halus jadi kasar, jadi gimana ya tidak seperti dulu, sekarang hitam dulu mah kan cerah, terang gitu, sekarang mah kesannya kusam”. (P10)
Terdapat lima partisipan, yaitu partisipan ke-1, 2, 4, 7, dan ke-9 yang selain mengeluhkan kulit wajah menjadi hitam, mereka juga mengungkapkan gigi menjadi keropos, gigi hancur, menjadi kuning dan giginya habis. Pada umumnya mereka tidak mengetahui mengapa giginya dapat mengalami kerusakan. Sebelum sakit sudah ada kerusakan gigi, tetapi sejak sakit dan menjalani cuci darah, perubahan yang dirasakan semakin berat. Seperti ungkapan beberapa partisipan di bawah ini:
“Gatal-gatal, kulit menjadi hitam terutama wajah, gigi keropos menjadi kuning, banyak yang rusak itu aja”. (P4)
“Banyak perubahan yang saya alami, kulit agak hitam pada bagian wajah dan gatal, kemudian kram kaki. gigi saya hancur, gigi saya pada keropos". (P7)
Perasaan lemah dan lemas diungkapkan oleh delapan partisipan, yaitu partisipan ke 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan ke-10. Makna lemah dan lemas yang mereka rasakan disebabkan karena mereka tidak memiliki energi atau tenaga yang cukup untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Rasa lemas yang partisipan rasakan kadang disertai rasa pusing. Untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti ke toilet, mandi dan memakai baju harus ditolong atau digendong oleh suami/istrinya. Selain itu karena kelemahannya, beberapa partisipan sudah tidak mampu untuk bekerja lagi, ada tiga partisipan laki-laki yang mengajukan pensiunan dini dari pekerjaannya.
Rasa lemah dan lemas ini juga mempengaruhi aktivitas yang dilakukan oleh partisipan yang masih aktif bekerja di kantor. Hal ini diungkapkan oleh beberapa partisipan di bawah ini:
“Itu yg paling parah, lemas kadang masuk kantor saya merasa pusing, lemas jadi kadang tidur dulu, kadang dikantor saya hanya datang hanya sebentar kemudian tidur dulu, kalau merasa pusing dan lemas, jadi itu lagi sejak saya cuci darah, saya ngak dapat tidur malam, justru saya tidurnya siang". (P8)
“Aku mah kalau sakit teh, sampai suami yang membedakin kadang saya ngak mau, saya sampai lemes, aku di bedakin padahal aku sudah tidak berdaya itu teh, sudah pucet kadang siayah saya ke air pun di gendong, mandi di gendong, mandi di mandiin, setelah mandi di bajuan, di bajuan langsung di bedakin sama suami”. (P10)
Ungkapan partisipan ke-7, yang mengatakan bahwa sejak sakit dan menjalani cuci darah cepat capek dan lemas. Untuk berjalan saja dari depan ke ruang cuci darah sudah susah dan harus istrahat 2 kali, apalagi untuk bekerja, sehingga partisipan total tidak bekerja lagi.
Partisipan ke-1 mengeluhkan ketika melakukan aktivitas, mudah capek, sehingga aktivitas yang dilakukan tidak dapat lama, jika terlalu lama menyebabkan kaki bengkak. Cepat capek adalah pengaruh dari lemah dan lemas tubuhnya, sehingga bekerja tidak maksimal. Seperti yang dikemukakan partisipan di bawah ini:
“Kalo kerja, aktifkan ngak dapat, cepat capek kesana kesini cepat capek. kalo kelamaan kerja kan suka bengkak jadi gak dapat aktifitas lama”. (P1)
“Mempengaruh aktivitas teh, kan cepet capek, kalo misalkan bekerja itu kan ngak maksimal, jalan juga capek kalau misalkan sapu-sapu, cuci piring, kadang terasa capenya”. (P5)
“Sangat berpengaruh, ya yang itu cepat capek dan lemas, seandainya saya berjalan dari depan kesini ruang cuci darah, saya harus dua kali istrahat dulu, lemasnya itu yang saya alami, untuk jalan aja susah apalagi untuk bekerja. sekarang saya total tidak dapat bekerja lagi, dulukan dapat gerak bawa motor, sopir mobil, sekarang mah ngak”. (P7)
Dua partisipan, yaitu ke-2 dan ke-7 melakukan istrahat total tanpa ada sedikitpun aktivitas, hanya nonton TV. Sedangkan 3 partisipan yaitu ke-3, ke-4, dan ke-8 melakukan aktivitas ringan, masih bekerja tetapi hanya pekerjaan ringan yang tidak memerlukan banyak tenaga dan energi. Dua partisipan yaitu ke-1 dan ke-5 melakukan aktivitas sedang, seperti yang dikemukakan partisipan di bawah ini:
“Ibu mah sejak sakit enggak kerja apa-apa lagi, istrahat aja, Jadi semua bapak yang kerjakan, jadi ibu rumah tangga gitu. Nyuci baju, semuanya, beresin rumah, nyuci piring,ngepel,semuanya bapak yang kerjakan”. (P2)
“Jika dirumah kegiatannya ngak ada, saya, istrahat aja, kadang tidur atau nonton TV, untuk gerak aja kadang langsung lemas, cepat capek". (P7)
“Kalo malam saya hanya nonton semua siaran TV sampai habis, saya nonton setelah jam 5 atau jam 6 pagi, saya makan setelah itu saya baru dapat tidur atau istrahat saja”. (P8)
Perasaan dan Gejolak Emosional
Ada lima partisipan, ke-2, 5, 6, 8 dan 10 yang langsung tidak terima dan menolak ketika disampaikan bahwa mereka harus melakukan cuci darah, perasaan yang ada saat itu hilangnya harapan hidup.
Reaksi penolakan yang dialami menyebabkan mereka menunda untuk melakukan pengobatan cuci darah, dan mencari cara lain seperti pengobatan herbal, pengobatan cina, pengobatan alternaltif bahkan sampai melakukan kompress tulang dan ke dukun. Reaksi partisipan ke-6, ke-5 dan ke-8 terungkap dalam penuturan berikut ini:
“Saya awalnya tidak menerima tadinya, tidak menerima kok saya harus cuci darah, tetapi kata dokter ini kan sudah bengkak-bengkak, sudah tidak kencing, ya pasrah saja kita mah, langsung saya kesini untuk cuci darah, sebenarnya neng saya memang ada perasaan takut". (P5)
"Tidak menerima, itu vonis cuci darah dari dr.umum, bahkan saya sempat bilang ahhh dokternya sudah gila, salah diagnosis kemudian saya langsung pulang”. (P6)
Reaksi lain yang ada pada awal ketika harus menjalani cuci darah adalah adanya perasaan mengerikan dan ketakutan. Ada 6 partisipan, ke-1, 3, 4, 5, 8 dan ke-9 yang mengungkapkan hal tersebut. Partisipan ke-1 dan ke-2 mengatakan belum pernah melihat atau mendengar tentang proses cuci darah. Reaksi mereka terungkap dalam penuturan partisipan berikut ini:
“Perasaan saya ngeri sekali, ngeliat nya, ya takut juga gitu tetapi gimana ya deg-degkan juga”. (P1)
“Perasannya takut, yang namanya denger cuci darah itu kan suatu kata yang mengerikan, kalo cuci darah mah ngak dapat pipis, BAB susah”. (P3)
Dinamika lain alasan rasa takut yang dirasakan partisipan adalah dengan cuci darah mereka membayangkan pasti akan mati atau meninggal. Keyakinan ini semakin kuat dari kejadian yang mereka alami, banyak teman mereka yang melakukan cuci darah sekali langsung meninggal. Hal ini terungkap dalam penuturan partisipan berikut ini:
“Saya takut banget piyee, ngeri banget, saya juga takut gituu, takut mati, bapak membayangkan ketika bapak cuci darah itu akan mati, saat inipun saya masih takut, banyak teman saya yang mati selama cuci darah”. (P4)
“Waduh bu, saya sangat syok rasanya kaget sekali dalam fikiran saya cuci darah itu berarti saya akan mati, sudah tidak ada harapan hidup lagi". (P7)
“Wahh saya langsung nolak, dan saya langsung dwon syok berat, karena ada teman saya juga melakukan cuci darah sekali langsung meninggal”. (P8)
Ada tujuh Partisipan, ke-1, 2, 3, 4, 7, 8 dan ke-10 yang mengungkapkan perasaan tak berdaya. Adanya rasa bosan, capek, jenuh dalam menjalani cuci darah, ingin lepas dari rutinitas tindakan cuci darah tetapi tidak dapat, jadi partisipan merasa terjebak dalam situasi yang sulit, dimana ingin berhenti tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan. Adanya perasaan tak berharga, rasa frustasi dan perasaan terbuang karena ketidakmampuan dalam memberikan nafkah lahir dan batin dan ketidakmampuan dalam hubungan seksual dengan pasangan hidupnya baik pada partisipan laki-laki, maupun partisipan perempuan. Seperti diungkapkan beberapa partisipan di bawah ini:
“Sedih kasian sama anak, istri, hidup ini tidak berguna gitu teh, kerja gak dapat gitu, kasih nafkah istri gak dapat, nafkah lahir batin gak dapat, perasaan tidak berdaya, tidak berguna”. (P1)
“Sudah tidak ada gunanya hidup ini teh, udah capek, tidak kuat lagi cuci darah, sudah jenuh, percuma juga hidup tetapi seperti ini, ngak dapat apa-apa”. (P2)
Perasaan tak berguna pada partisipan laki-laki lebih mengarah pada peran mereka sebagai kepala rumah tangga, dimana terjadi perubahan peran yang seharusnya mampu mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangga. Selain itu hilangnya kemampuan diri sebagai seorang suami dalam hubungan seksual. Sedangkan perasaan tak berguna pada partisipan perempuan, lebih berfokus terhadap ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari sebagai seorang ibu untuk anak-anaknya maupun sebagai seorang istri dalam memberikan hubungan seksual terhadap suami. Hal ini sesuai dengan penuturan partisipan di bawah ini :
“Perasaan saya sangat frustasi, merasa tak berharga, tak berguna tidak ada gunanya hidup ini, saya merasa sangat frustasi, saya merasa saya sudah tidak ada gunanya, tidak ada mamfaatnya, baik dalam masalah hubungan dengan istri maupun dalam kehidupan saya sebagai seorang laki-laki”. (P7)
“Ya itu ada perasaan terbuang terutama di kantor kadang-kadang saya masuk kantor pulang lagi, saya masih punya anak yang masih harus saya biayai”. (P8)
“kadang jika datang sesaknya, lemas aja kebadan, jika sedang ngajar istirahat dulu, kalau sakit sesek kadang merasa tak berdaya”. (P10)
Perasaan dan gejolak emosional lain yang dirasakan partisipan adalah merasa kasihan terhadap pasangan hidupnya dan rasa kasihan ini ada pada diri semua partisipan, berhubungan dengan masalah kehidupan seksual. Seperti yang diungkapkan partisipan ke-6 yang meminta maaf pada istrinya karena tidak dapat seperti dulu lagi.
“saya menyampaikan, aduh ibu maafin ayah bu, ngak dapat lagi kaya dulu, ngak dapat memuaskan ibu lagi". (P6)
“Saya kasihan kadang-kadang sama istri saya mah kadang fikir percuma juga mencoba melakuin karena nggak dapat berdiri”. (P8)
Perasaan ketidak berdayaan terhadap kondisi penyakitnya menyebabkan partisipan menganjurkan pasangannya untuk menikah lagi. Seperti yang diutarakan partisipan ke-1, ke-3 dan ke-5, hal ini dapat diketahui dari penuturan partisipan di bawah ini:
“Saya selalu bilang, saya minta maaf mah minta maaf ngak dapat kasih nafkah lahir batin, Mamah, kalo mau mah silahkan aja ceraikan saya, tingalkan saya, saya udah gak ada bergunanya lagi sebagai seorang laki-laki. Saya mah ridho gitu ditinggalkeun". (P1)
“Ibu ngak dapat lagi layanin sibapak, aduh ampun, jangan, tobat, ngak kuat, ibu menolak, kalo bapak mau, cari saja yang lain kata ibu gitu, ibu mah udah nyarankan bapak cari saja wanita lain karena ibu udah udah ngak dapat". (P2)
“Kan pernah gini kita teh kan udah menyadari diri ya kalo kita teh udah gak kaya dulu, pernah nyuruh, pak kalo mau kawin lagi, sok aja, mamah mah ridho karena kan kalo kita ngak gitu, dosa juga kan ke kitanya". (P3)
PEMBAHASAN
Terdapat delapan dari sepuluh partisipan mengungkapkan bahwa kulitnya menjadi hitam, terutama pada bagian wajah. Selain kulit wajah menjadi hitam juga terlihat kusam, kasar dan terlihat lebih tua. Hal ini mempengaruhi persepsi diri partisipan. Mereka menjadi minder dan kurang percaya diri.
Berdasarkan pendekatan teori, apa yang dirasakan oleh partisipan merupakan tanda dan gejala dari gangguan fungsi ginjal. Pada sistem integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, echymosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar (Smeltzer et al., 2001). Pigmentasi yang tidak merata pada kulit yang terlihat sebagai bercak-bercak pigmentasi, yang disebabkan oleh penumpukan pigmen melanin secara tidak teratur dalam sel-sel basal di epidermis. Hal ini yang menyebabkan kulit pasien semakin hitam.
Perubahan kulit, penimbunan pigmen urin (terutama urokrom) bersama anemia pada insufisiensi ginjal lanjut akan menyebabkan kulit pasien menjadi putih seakan-akan berlilin dan kekuning-kuningan. Pada orang berkulit coklat, kulit akan berwarna coklat kekuningan, sedangkan pada orang kulit hitam akan berwarna abu-abu bersemu kuning, terutama di daerah telapak tangan dan kaki. Kulit mungkin menjadi kering dan bersisik, sedangkan rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit echymosis akibat gangguan hematologis, urea terakumulasi, yang mengarah ke azotemia dan akhirnya uremia dan urea diekskresikan oleh keringat dan mengkristal pada kulit yang dikenal dengan frost uremic.
Perubahan dalam penampilan fisik akibat penyakit GGK bervariasi dan berbeda antara pasien yang menjalani hemodialisis. Kadang-kadang kulit dapat menjadi lebih pucat, kering dan bersisik dan pasien mungkin ingin menggunakan kosmetik untukmengubah warna kulit mereka. Perubahan dapat terjadi pada berat badan, karena kehilangan cairan atau retensi. Pasien mengalami perubahan rasa dan bau napas yang berbeda, berbau khas ureum akibat racun yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal (Mauer, 1990).
Adanya gangguan citra tubuh akibat hilangnya fungsi tubuh, akan dialami beberapa pasien GGK. Mereka secara tidak sadar menganggap diri mereka tidak lengkap (cacat), karena mesin dialisis merupakan pengganti ginjal dan dirasakan sebagai bagian dari tubuhnya. Perasaan ini membuat adanya perasaan tidak lengkap (Mauer, 1990).
Pada pasien dengan gagal ginjal yang menjalani dialisis, adanya keluhan mual, muntah, tidak ada nafsu makan maupun penurunan berat badan harus dievaluasi secara hati-hati, diperkirakan penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Malnutrisi pada gagal ginjal kronis disebabkan oleh toksin uremi dan oleh prosedur hemodialisa. Anoreksia sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis. Pada pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya akan berkembang Protein Energy Malnutrition (PEM). Beberapa studi memperkirakan bahwa pasien dengan gagal ginjal akan memiliki asupan energi dan protein yang tidak cukup bahkan pada saat awal berkembangnya penyakit. Anoreksia merupakan salah satu faktor penyebab dari rendahnya konsumsi makanan dan dapat berakibat pada gangguan hormonal. Faktor penyebab lainnya adalah nausea dan vomiting, pembatasan diet, uremia dan pengobatan. Kehilangan zat gizi berkontribusi pada malnutrisi dan disebabkan akibat dari vomiting, diare, pendarahan sistem pencernaan, concurrent catabolic illness dan dialisis (Kusuma, 2006).
Kejadian anoreksia pada pasien-pasien hemodialisa sekitar sepertiga dari jumlah pasien hemodialisa (HD). Dalam penelitian dengan jumlah sampel 331 ini, terjadi penurunan nafsu makan pada pasien HD sejumlah 124 pasien. Nafsu makan berkurang (38%), tidak ada nafsu makan (7%), dan nafsu makan baik (31%). Demikian pula, dalam studi pasien HD yang lain, 1/3 dari pasien HD dengan jumlah 1846, melaporkan nafsu makan berkurang (23,8% ), dan sangat kurang (8,8%), terdapat anoreksia (37,8%). Menariknya, dilaporkan bahwa persentase yang lebih tinggi dari pasien yang memiliki nafsu makan buruk (12,7%), pada hari ketika dialisis dan (5,4%) ketika tidak menjalani dialisis (Bossola et al., 2006).
Pada GGK dan pengobatan yang diberikan akan menyebabkan perubahan besar dalam gaya hidup pasien yang membuat frustrasi dalam semua aspek kehidupan, termasuk pembatasan asupan makanan dan cairan. Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh ke dalam keadaan malnutrisi. Pasien dengan gagal ginjal mengalami penurunan berat badan yang disertai pembengkakan tubuh dan perubahan pada pengecapan rasa makanan. Pasien sering tidak mau makan banyak karena adanya pembatasan diet.
Perasaan lemah dan lemas diungkapkan oleh delapan dari sepuluh partisipan. Makna lemah dan lemas yang mereka rasakan disebabkan karena mereka tidak memiliki energi atau tenaga yang cukup untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Fungsi ginjal sebagai penyaring darah dari sisa-sisa metabolisme menjadikan keberadaannya tidak dapat tergantikan oleh organ tubuh lainnya. Kerusakan atau gangguan pada ginjal menimbulkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh. Akibatnya, aktivitas terganggu dan tubuh jadi mudah letih dan lemas (Colvy, 2010). Salah satu fungsi ginjal yaitu memproduksi hormon erythropoietin, karena fungsi ginjal rusak, sintesis hormon menurun sehingga berpotensi menyebabkan anemia, dan hal tersebut menjadikan penderita mengalami kelelahan, hilang nafsu makan, mual dan muntah. Kelelahan dan lemah dapat disebabkan oleh anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh.
Penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan sel darah merah akibat defisiensi pembentukan erythropoietin oleh ginjal dan masa hidup sel darah merah pada penderita gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel darah merah normal (Smeltzer et al., 2001).
Pasien HD sering mengalami kelelahan, sehingga mereka dapat tertidur setiap saat jika tidak ada aktivitas. Pengalaman kelelahan pasien berhubungan dengan kesulitan pasien secara fisik dan fungsional, dan ini mempengaruhi kegiatan sehari-hari mereka. Kelelahan fisik dan mental yang demikian harus dilihat sebagai aspek inti dalam proses dialisis. Hal ini berpengaruh dalam kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari karena kapasitas fungsional mereka berkurang.
Temuan tentang keterbatasan fisik dan kelelahan ini konsisten dengan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Shabalala (2004) melaporkan tingkat tinggi kelelahan, bersama dengan vitalitas yang rendah, motivasi berkurang, aktivitas berkurang dan kelelahan mental yang dialami oleh pasien hemodialisis dewasa. Kouidi (2004) berpendapat bahwa latihan pada pasien dialisis dalam peningkatan kapasitas fungsional, menunjukkan perbaikan pada psikologis dan peningkatan fungsi sosial.
Banyak pasien dengan gagal ginjal tidak mampu melakukan aktivitas fisik seperti sebelum mereka sakit, maka perlu ada pengaturan pembatasan aktivitas pada pasien HD. Aktivitas harus dibatasi, terutama yang terbiasa berenang atau olahraga aktif. Aktivitas yang dilakukan sebaiknya aktivitas yang dapat meningkatkan kekuatan dan daya tahan, mencegah kelelahan, stres dan depresi dan meningkatkan kualitas keseluruhan sehari-hari hidup. Dalam sebuah penelitian deskriptif korelasional yang dilakukan oleh McCann & Boore (2000) memeriksa adanya kelelahan dalam kelompok pasien hemodialisa usia dewasa, hasil penelitian tersebut mengindikasikan tingginya kasus kelelahan, disertai dengan vitalitas yang rendah dan motivasi berkurang. Henderson & Thuma (1994) menjelaskan bahwa penyakit kronis yang diderita pasien, seperti kondisi yang lemah dan kelelahan akan menyebabkan perubahan konsep diri dan harga diri seseorang sehingga memerlukan penyesuaian mobilisasi pertahanan dan mekanisme koping.
Diagnosis harus yang mengharuskan cuci darah adalah pengalaman menghancurkan bagi yang bersangkutan. Muncul reaksi yang salah satunya adalah takut akan ancaman kematian. Dialisis merupakan sumber kecemasan bagi pasien GGK karena kemungkinan komplikasi seperti infeksi, kemungkinan pendarahan sampai kematian jika selang AV shunt lepas dan kemungkinan terjadi pembekuan darah. Sumber ancaman kematian juga berasal pada kesadaran bahwa kelanjutan kehidupan bergantung dari variabel-variabel eksternal di luar kendali seperti obat, mesin HD, staf unit hemodialisa, sumber daya yang ada dan masyarakat (Mauer, 1990). Selain itu selalu terjadi reaksi penolakan yang dialami pasien gagal ginjal ketika awal diagnosis. Fase penolakan (denial) pasien terhadap penyakitnya karena adanya kecemasan akan tindakan yang akan diterimanya, hal ini terjadi terutama pada pasien yang masih menggunakan akses temporer karena tindakan pemasangan fistula tersebut dirasakan sangat sakit (Morton et al., 2012).
Pertahanan utama yang digunakan oleh pasien dengan dialisis adalah penyangkalan. Penolakan yang terjadi pada pasien HD akan menyebabkan terjadinya depresi. Pasien dialisis melindungi diri mereka terhadap stress yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya apapun yang tersedia. Tanpa persiapan diri dari diagnosa gagal ginja terminal, kenyataan tersebut mereka tidak pernah terima. Ada reaksi yang pasti, kebanyakan pasien memasuki masa penyangkalan. Mereka benar-benar tidak yakin bahwa ginjal mereka telah gagal.
Menurut Mauer (1990), ketakutan akan kematian adalah pemicu stres utama karena hemodialisis merupakan suatu usaha dari perjuangan untuk bertahan hidup. Untuk pasien HD, terjadi penurunan dan adanya ketakutan yang tidak dapat ditolerir bahwa kelangsungan hidup mereka sangat bergantung pada mesin dialisis. Pasien HD mengalami beberapa kecemasan tentang potensi masalah yang dapat muncul, salah satunya adalah kematian dini. Hal ini sesuai dalam penelitian Kouidi (2004) melaporkan bahwa pasien dialisis masih menghadapi stres akut dan kronis, meyakini bahwa kelangsungan hidup mereka bergantung sepenuhnya pada teknologi dan sarana buatan.
Penyakit kronis dan kebutuhan untuk perawatan yang terus menerus menyebabkan pasien mengalami perasaan tidak berdaya yang mengarah ke depresi. Pemindahan, isolasi perasaan, proyeksi dan pembentukan mekanisme pertahanan, semua reaksi digunakan oleh pasien HD. Ketakutan, kecemasan, kemarahan, penarikan reaksi, umum ditampilkan dalam adaptasi terhadap penyakit ginjal. Jika kemarahan dan permusuhan tidak diungkapkan, perasaan bersalah mulai timbul. Penarikan diri sebagai reaksi lain terjadi ketika kemarahan itu tidak dinyatakan secara langsung. Reaksi pasien HD yang situasional dan dilihat sebagai reaksi yang menyebabkan terjadinya stres berat (Fortner-Frazier, 1981).
Kejadian depresi sangat umum pada pasien GGK terutama yang menjalani terapi HD. Kimmel (2000) menyatakan bahwa pasien dialisis kronis mengalami banyak kerugian, termasuk hilangnya fungsi ginjal, kesejahteraan, tempat dalam keluarga dan tempat kerja, waktu, sumber daya keuangan dan fungsi seksual. Ini tidak mengejutkan bahwa sebagian besar pasien menderita depresi pada satu tahap atau pada tahap yang lain.
Depresi adalah masalah lain yang terlihat pada pasien dengan GGK. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McCann & Boore (2000) pada pasien HD, bahwa pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis dapat menyebabkan gangguan depresi dan kecemasan. Tidak bekerja merupakan pemicu stres utama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kimmel (2000) mengungkapkan bahwa persentase terbesar penduduk dengan penyakit GGK yang menganggur/tidak bekerja, sebagian karena usia tua, penyakit medis dan disinsentif sosial. Pasien dari latar belakang sosial ekonomi rendah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutan keuangan terapi hemodialisa. Pasien mungkin bekerja lebih sedikit atau tidak bekerja karena kondisi yang melemahkan dirinya (Kimmel, 2000). Adanya kemarahan, depresi dan keputusasaan nyata yang dialami pasien, sedangkan kesedihan yang dalam, kebencian, rasa bersalah dan kehilangan yang kadang dirasakan oleh pasangan.
Kondisi perilaku seksual seseorang dan pasangannya, baik yang sehat maupun yang tidak sehat mewarnai kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya, artinya perilaku seksual yang sehat dapat membuat hidupnya berkualitas dan sebaliknya perilaku seksual yang tidak sehat dapat membuat hidupnya tidak berkualitas. Pada akhirnya disfungsi seksual dapat mengganggu kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya.
Terapi hemodialisa akan menyebabkan kesulitan seksual pada laki-laki dan perempuan dengan gagal ginjal, terjadinya impotensi dan berkurangnya frekuensi orgasme selama hubungan seksual, dan pada perempuan, terjadinya penghentian menstruasi, berkurangnya kesuburan dan perubahan dalam penampilan yang dapat menyebabkan disfungsi seksual.
Berdasarkan ungkapan partisipan, perasaan kasihan dan meminta maaf kepada pasanganya merupakan refleksi dari ketidakmampuan dalam memberikan nafkah lahir maupun batin baik pada partisipan laki-laki maupun partisipan perempuan. Sehinga partisipan menganjurkan pasangan hidupnya untuk menikah, perkawinan tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan lahiriah saja tetapi juga bertujuan untuk mewujudkan kebahagian batiniah karena perkawinan bukan hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja, tetetapi juga merupakan hubungan batin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perubahan fisik dan aktivitas fisik yang dialami pasien gagal ginjal kronis merupakan akibat dari kerusakan ginjal dan proses hemodialisis yang dijalani. Perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka seperti kulit wajah hitam, gigi rusak, badan kurus, badan lemah, lemas dan cepat capek yang berkontribusi pada menurunnya kualitas hidup. Perasaan dan gejolak emosional yang dirasakan pasien gagal ginjal kronis adalah tidak terima dan ketakutan akan kematian, adanya perasaan tidak berdaya dan merasa hidup tidak berguna, serta kasihan, meminta maaf dan menyarankan pasangan untuk menikah lagi. Adanya kecemasan, stres, dan perasaan depresi terhadap pasangan hidupnya merupakan aspek seksualitas yang ada pada pasien GGK.
DAFTAR PUSTAKA
Bossola, M., Tazza, L., Giungi, S., & Luciani, G. (2006). Anorexia in hemodialysis patients: An update. Kidney International, 70(3), 417–422. https://doi.org/10.1038/sj.ki.5001572
Burns, D. (2004). Physical and psychosocial adaptation of blacks on hemodialysis. Applied Nursing Research: ANR, 17(2), 116–124. https://doi.org/10.1016/j.apnr.2004.02.002
Colvy, J. (2010). Gagal Ginjal: Tips Cerdas Mengenali Dan Mencegah Gagal Ginjal. Dafa Publishing.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi (3rd ed.). EGC.
Fortner-Frazier, C. L. (1981). Social work and dialysis: The medical and psychosocial aspects of kidney disease. University of California Press.
Hancock, B. (2002). Trent Focus for Research and Development in Primary Health Care An Introduction to Qualitative Research. Tren Focus Group.
Henderson, L. W., & Thuma, R. S. (Eds.). (1994). Quality assurance in dialysis. Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-015-8297-1
Indonesian Renal Registry. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry. https://www.indonesianrenalregistry.org/data/5th%20Annual%20Report%20Of%20IRR%202012.pdf
Kimmel, P. L. (2000). Psychosocial factors in adult end-stage renal disease patients treated with hemodialysis: Correlates and outcomes. American Journal of Kidney Diseases: The Official Journal of the National Kidney Foundation, 35(4 Suppl 1), S132-140. https://doi.org/10.1016/s0272-6386(00)70240-x
Kouidi, E. (2004). Health-related quality of life in end-stage renal disease patients: The effects of renal rehabilitation. Clinical Nephrology, 61 Suppl 1, S60-71.
Kusuma, R. J. (2006). Management Diet Untuk Pasien Dengan Gagal Ginjal. In Scribd. https://www.scribd.com/doc/13066913/Management-Diet-Untuk-Pasien-Dengan-Gagal-Ginjal
Mauer, K. F. (1990). Book review: Clinical health psychology: a behavioural medicine perspective. South African Journal of Psychology, 20(4), 303–304. https://doi.org/10.1177/008124639002000411
McCann, K., & Boore, J. R. (2000). Fatigue in persons with renal failure who require maintenance haemodialysis. Journal of Advanced Nursing, 32(5), 1132–1142. https://doi.org/10.1046/j.1365-2648.2000.01584.x
McClellan, W. M., Abramson, J., Newsome, B., Temple, E., Wadley, V. G., Audhya, P., McClure, L. A., Howard, V. J., Warnock, D. G., & Kimmel, P. (2010). Physical and psychological burden of chronic kidney disease among older adults. American Journal of Nephrology, 31(4), 309–317. https://doi.org/10.1159/000285113
Moleong, L. J. (2018). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Remaja Rosdakarya.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8th ed., Vol. 2). EGC.
Pelletier-Hibbert, M., & Sohi, P. (2001). Sources of uncertainty and coping strategies used by family members of individuals living with end stage renal disease. Nephrology Nursing Journal: Journal of the American Nephrology Nurses’ Association, 28(4), 411–417, 419; discussion 418-419.
Sandelowski, M. (2000). Whatever happened to qualitative description? Research in Nursing & Health, 23(4), 334–340.
Shabalala, T. M. (2004). Factors that facilitate adherence to haemodialysis therapy amongst patients with chronic renal failure. [Thesis]. https://researchspace.ukzn.ac.za/handle/10413/3421
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hartono, A., & Kuncara, H. Y. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth. EGC.
Sugiyono, S. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta.
Weisbord, S. D., Fried, L. F., Mor, M. K., Resnick, A. L., Unruh, M. L., Palevsky, P. M., Levenson, D. J., Cooksey, S. H., Fine, M. J., Kimmel, P. L., & Arnold, R. M. (2007). Renal provider recognition of symptoms in patients on maintenance hemodialysis. Clinical Journal of the American Society of Nephrology: CJASN, 2(5), 960–967. https://doi.org/10.2215/CJN.00990207
Catatan kaki
Author notes
lilin6rosyati@gmail.com