Original Research
Published: 30 December 2018
Corresponding author: indrionohadi@gmail.com
Ringkasan: Ketika seorang wanita dipenjara, dia akan mengalami banyak tekanan. Lapas menimbulkan rasa takut dan tidak enak karena anggapan dan tekanan buruk yang dialami seperti pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, kesehatan yang buruk dan fasilitas yang sangat minim, selain itu ada stigma yang akan tetap melekat pada seseorang saat keluar dari penjara. Lamanya masa hukuman dan isolasi dari lingkungan luar memiliki dampak psikologis yang cukup besar terhadap kesehatan mental narapidana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kecemasan narapidana wanita di Lapas Kota Kendari. Sampel dalam penelitian ini adalah 30 narapidana wanita di Lapas / Rutan. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2016. Mayoritas responden berusia 26-35 tahun (50%), pendidikan tertinggi adalah SMA (53.33%), mayoritas telah menikah (87%), dan dipenjara karena menyalahgunakan Narkoba (70%). Hasil uji statistik rerata dan standar deviasi terhadap kecemasan Narapidana sebagai berikut: kecemasan sedang (22.93 ± 3.58), kecemasan berat (29.20 ± 5.52) dan kecemasan ringan (14, 60 ± 1.14). Pentingnya perawat dan petugas Lapas untuk memperhatikan tingkat kecemasan perempuan di Lapas karena banyaknya permasalahan yang muncul dari narapidana perempuan baik secara fisik maupun psikis.
Kata kunci: Narapidana, Wanita, Lapas, TMAS, Kecemasan.
Abstract: When a woman is imprisoned, she will experience a lot of pressure. Prisons create feelings of fear and unpleasant feelings due to bad assumptions and pressures experienced such as beatings, torture, sexual harassment, poor health and very minimal facilities, besides that there is a stigma that will remain attached to someone when they are out of prison. The length of their sentence and isolation from the outside environment has a considerable psychological impact on the mental health of prisoners. The purpose of this study was to determine the anxiety level of female prisoners in prison using the Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) Questionnaire. The sample in this study were all 30 female prisoners in prison. Using the descriptive approach method carried out in May-June 2016. The characteristics of respondents with the highest age were 26-35 years (50%), most of the respondents have formal education in SMA (53.33%), and have marriage (87%). The cause of imprisoned is drug usage (70%). The mean and deviation standard of the level of anxiety of female prisoners in prison are moderate anxiety (22.93 ± 3.58), severe anxiety (29.20 ± 5.52) and average mild anxiety (14 , 60 ± 1.14). This is importance for nurses and prison staff to give attention to the anxiety level of women in prison to prevent physical and psychological problems.
Keywords: Anxiety, Prison, Women, Imprisoned, TMAS.
PENDAHULUAN
Dewasa ini tindak kriminal semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tindak kriminal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak, orang yang sudah dewasa bahkan orang tua, baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun wanita. Perlu diketahui angka kriminalitas oleh perempuan di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Seiring meningkatnya kasus kejahatan perempuan, terjadi peningkatan jumlah narapidana wanita. narapidana wanita diyakini lebih rentan mengalami gangguan mental dibandingkan dengan narapidana laki-laki. Penelitian lain juga mengatakan bahwa narapidana wanita lebih rentan mengalami depresi (Gussak, 2009).
Berdasarkan jenis kelamin, narapidana wanita secara hak dan kewajiban sama dengan narapidana laki-laki, namun secara psikologis keadaan emosi dan kesehatan mental narapidana wanita berbeda dengan narapidana laki-laki. Ketika seorang wanita berada di dalam penjara, akan banyak mengalami tekanan yang bermakna. Penjara menimbulkan perasaan takut dan perasaan tidak menyenangkan karena anggapan buruk dan tekanan yang selalu ada di dalamnya seperti pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, kesehatan yang buruk dan fasilitas yang sangat minim, selain itu adanya stigma yang akan tetap melekat pada seseorang apabila dirinya telah keluar dari penjara. Lama hukuman dan terisolasinya mereka dari lingkungan luar memberikan dampak psikologis yang cukup besar pada kesehatan mental narapidana (Palmer & Connelly, 2005).
Beberapa pengalaman perasaan negatif diantaranya yaitu perasaan kesepian, tertekan karena peraturan di dalam Lapas, keinginan untuk bebas, perlakuan dari narapidana lain yang tidak menyenangkan, tidak mendapatkan kunjungan keluarga. Permasalahan yang dihadapi di dalam penjara dapat membuat para narapidana wanita mengalami dampak psikis dan fisik seperti sakit kepala, tidak dapat tidur dan bahkan ada salah satu diantara narapidana wanita pernah melakukan percobaan bunuh diri (Palmer & Connelly, 2005).
Kecemasan adalah suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman (Taylor, 1953). Dalam penelitian ini digunakan instrumen pengukur kecemasan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) yang ditemukan oleh Janet Taylor. Tingkat kecemasan akan diketahui dari tinggi rendahnya skor yang didapatkan. TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pertanyaan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang muncul. Tingkat kecemasan di bagi menjadi 3 skala berdasarkan hasil pengukuran: skor < 20 (kecemasan ringan); skor 20−25 (kecemasan sedang); skor > 25 (kecemasan Berat) (Afrianti et al., 2016).
Peran perawat di Lapas atau Lembaga Pemasyarakatan juga cenderung kurang memperhatikan kesehatan mental warga binaan, peran perawat di Lembaga Pemasyarakan lebih memberikan pelayanan kesehatan secara fisik dengan jadwal yang sudah di tentukan serta memberikan pelayanan yang seadanya, sehingga pentingnya sebuah penelitian untuk melihat bagaimana sebenarnya kecemasan dari Napi wanita yang berada di Lapas.
METODE
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Kendari.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh narapida wanita yang berada di Lapas kota Kendari berjumlah 30 Narapidana.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan lembar kuesioner secara terstruktur untuk diisi oleh responden dan dari dokumen-dokumen yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan kota Kendari.
Pengolahan dan Analisis Data
Dengan menggunakan kuesioner TMAS yang berisi sebanyak 50 pertanyaan terstruktur yang terdiri dari: (1) kecemasan ringan yaitu perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan perhatian khusus. Total skor TMAS kategori kecemasan ringan <20; (2) kecemasan sedang yaitu merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi. Total skor TMAS kategori kecemasan sedang 20-25; (3) kecemasan berat yaitu ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman, memperlihatkan respons takut dan distress. Total skor TMAS kategori kecemasan berat > 25.
HASIL
PEMBAHASAN
WHO memperkirakan lebih dari 9 juta tahanan di seluruh dunia, setidaknya 1 juta (11%) menderita gangguan mental yang signifikan, dengan masalah kesehatan mental yang paling sering terjadi adalah kecemasan dan depresi. Masalah kesehatan mental adalah penyebab paling umum morbiditas di penjara, yang menciptakan tantangan besar bagi manajemen penjara (World Health Organization Regional Office for Europe, 2007).
Perempuan dalam Lapas, bila dibandingkan dengan laki-laki, memiliki prevalensi yang lebih tinggi secara signifikan dari gangguan medis, kesehatan mental, dan ketergantungan zat. Hasil penelitian terbanyak adalah kecemasan sedang 15 orang dengan mean±std (22,93±3,58) (Tabel 2) memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal-hal yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting atau bukan menjadi prioritas yang ditandai dengan perhatian menurun penyelesaian masalah menurun, tidak sabar, mudah tersinggung, ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat, mulai berkeringat, sering mondar-mandir, sering berkemih dan sakit kepala (Binswanger et al., 2009).
Sekitar 60% dari wanita yang dipenjara melaporkan memiliki rata-rata 2 anak (Tabel 1). Diperkirakan 6-10% wanita hamil pada saat penahanan. Dalam penjara wanita mewakili proporsi yang lebih kecil dibandingkan pria, wanita lebih cenderung menjadi pengasuh utama anak mereka sebelum penangkapan mereka. Para ibu yang dipenjara juga melaporkan bahwa mereka berniat untuk merawat anak-anak mereka setelah pembebasan, hal tersebut yang membuat wanita rentan mengalami kecemasan selama dalam Lapas (Clarke et al., 2010).
Kecemasan berat terdiri dari 10 orang, dengan mean±std (29,20±5,52) (Tabel 2). Kecemasan berat akan mengarah pada kasus depresi, baik ringan maupun berat, yang akan menyebabkan gangguan mental. Studi lain menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental lebih tinggi pada 10-15% tahanan daripada populasi umum hanya 2%. Perbedaan ini lebih tinggi terhadap tahanan wanita dengan gangguan mental yang paling banyak adalah depresi, penyalahgunaan zat/narkoba dan gangguan stres pascatrauma (Constantino et al., 2016). Secara total, hampir 6,7 juta orang dewasa berada dalam Lapas dan lebih dari 1,25 juta adalah wanita. Pelaku perempuan berisiko tinggi untuk penggunaan narkoba dan kambuh yang menyebabkan penangkapan, hukuman, dan penahanan yang berkelanjutan (Kaeble & Glaze, 2016).
Pada penelitian ini kasus terbanyak penyebab masuknya wanita dalam penjara adalah Narkoba berjumlah 21 kasus (70%) (Tabel 1). Menunjukkan tingginya tingkat penyalahgunaan narkoba di antara para tahanan, terutama pada perempuan. Masalah mental, yang timbul yang terkait dengan penyalahgunaan narkoba, dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris dan Skotlandia menunjukkan bahwa sembilan dari setiap 10 tahanan memiliki kelainan mental dan mengungkapkan tingkat prevalensi yang cukup mengkhawatirkan untuk kelainan tertentu: psikosis, 10% pria dan 14% wanita; neurosis, 59% pria dan 76% wanita; alkoholisme, 58% pria dan 36% wanita; percobaan bunuh diri, 25% wanita selama setahun terakhir (Constantino et al., 2016).
Kasus kecemasan sedang dan berat pada wanita di Lapas Kota Kendari, salah satu penyebab alasan masuknya karena pembunuhan sebanyak 6 orang (Tabel 1). Kecemasan sedang-berat, jika berkelanjutan akan mengarah pada gejala depresi yang disebabkan lingkungan pengaturan penjara yang tidak sehat: kepadatan yang berlebihan, tahanan harus tidur bersama di tempat tidur yang sama atau di lantai, sel-sel berbau busuk, gelap dan tidak berventilasi, diet yang buruk, gaya hidup menetap, hidup dengan orang yang kejam dan agresif, termasuk petugas LP, ruang fisik minimal, dan kehilangan sinar matahari dan kontak manusia (Damas & Oliveira, 2013).
Cemas sedang-berat akan menimbulkan perasaan stress sehingga akan menyebabkan masalah kesehatan mental yang terkait dengan berbagai gangguan fisik dan mental. Tingkat stres yang moderat akan terjadi adaptasi normal terhadap tuntutan sehari-hari. Namun, manifestasi berlebihan dari tekanan psikologis dengan reaksi fisik dan emosional, dan gejalanya bervariasi. Mengalami stres di lingkungan penjara sangat terkait dengan kecemasan dan depresi, lebih sering terjadi di antara tahanan yang baru, sehingga menimbulkan risiko bunuh diri di penjara (Ahmad & Mazlan, 2014).
Kecemasan dan depresi yang disebabkan oleh dukungan emosional yang buruk dikaitkan secara negatif dengan kesiapan perawatan dan pengobatan. Tempat tinggal yang tidak stabil, sarana komunikasi yang tidak konsisten, prevalensi trauma yang lebih tinggi, dan ketidaksesuaian keluarga dan pemisahan di antarapara narapidana dan keluarga dapat berkontribusi terhadap persepsi dukungan emosional yang rendah, menjadi simtomatologi depresi berikutnya, dan kurangnya kesiapan untuk sepenuhnya terlibat dalam perawatan (Narayan et al., 2017).
Aturan dan tata tertib dalam Lapas seperti kepadatan penduduk, kurangnya privasi, kekerasan, isolasi sosial, fasilitas kesehatan mental yang tidak memadai, dan efek dari hukuman penjara dapat menyebabkan gangguan mental di antara tahanan selama dalam penjara. Ide bunuh diri merupakan ekspresi awal dari kerentanan terhadap perilaku yang merugikan diri sendiri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa bunuh diri adalah penyebab paling umum dari kematian di penjara dan beberapa penelitian telah mengidentifikasi gejala kecemasan berat dan depresi sebagai faktor risiko penting untuk melukai diri sendiri dan bunuh diri (Palmer & Connelly, 2005).
Oleh karena itu, pencegahan dan rehabilitasi timbulnya kecemasan berat yang dapat menyebabkan gangguan mental tidak boleh diabaikan pada wanita yang berada dalam penjara. Menilai dan menangani kebutuhan kesehatan mental narapidana akan membantu dalam pengembangan kebijakan dan layanan kesehatan yang tepat untuk meningkatkan kesehatan psikogis narapidana. Salah satunya penelitian deskriptif untuk penilaian awal yang selanjutnya akan membantu mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam kehidupan komunitas. Kesiapan perawatan adalah konsep multidimensi yang mencakup elemen internal dan eksternal. Pentingnya kesiapan perawatan bagi perawat profesional yang bekerja dengan wanita yang terlibat kasus pidana, sebagai tantangan karena kurangnya motivasi, tidak patuh, atau tahan terhadap peraatan dan pengobatan (Wong et al., 2007).
Langkah-langkah harus diambil untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat, untuk memastikan kelanjutan perawatan psikiatris setelah pembebasan, dan untuk mengurangi isolasi sosial. Tindakan-tindakan ini selanjutnya dapat mengurangi tingkat kecemasan, depresi, residivisme dan melindungi individu, keluarga dan masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ini didukung oleh penelitian lain, pentingnya peran perawat dalam memantau kondisi psikologis para narapidana wanita yang berada di penjara/Lapas, pengkajian sejak awal, penilain sejak dini menilai keadaan mental narapidana wanita yang meningkat dari waktu ke waktu, dengan hasil kueisioner TMAS sudah terjadi kecemasan sedang-berat, yang nantinya jika tidak diberikan perhatian dan intervensi pendukung akan mengarah pada kasus depresi dan resiko percobaan bunuh diri.
Saran dalam penelitian ini yaitu perlunya penelitian lebih lanjut dan pengembangan strategi untuk mengurangi tingkat kecemasan-depresi pada narapidana waanita. Perlunya perhatiandari petugas kesehatan yang berada di lapas diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental narapidana melalui diagnosis dan manajemen yang tepat, bersama dengan penggunaan program rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, N. S., Rosyanti, L., Saranani, M. (2016). Gambaran tingkat kecemasan pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan kelas II Kota Kendari [Poltekkes Kemenkes Kendari]. http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/376/
Ahmad, A., & Mazlan, N. H. (2014). Stress and Depression: A Comparison Study between Men and Women Inmates in Peninsular Malaysia. International Journal of Humanities and Social Science, 4(2). http://www.ijhssnet.com/journal/index/2269
Binswanger, I. A., Krueger, P. M., & Steiner, J. F. (2009). Prevalence of chronic medical conditions among jail and prison inmates in the {USA} compared with the general population. Journal of Epidemiology and Community Health, 63(11), 912–919. https://doi.org/10.1136/jech.2009.090662
Clarke, J. G., Phipps, M., Tong, I., Rose, J., & Gold, M. (2010). Timing of conception for pregnant women returning to jail. Journal of Correctional Health Care: The Official Journal of the National Commission on Correctional Health Care, 16(2), 133–138. https://doi.org/10.1177/1078345809356533
Constantino, P., Assis, S. G. de, & Pinto, L. W. (2016). O impacto da prisão na saúde mental dos presos do estado do Rio de Janeiro, Brasil. Ciência Saúde Coletiva, 21, 2089–2100. https://doi.org/10.1590/1413-81232015217.01222016
Damas, F. B., & Oliveira, W. F. (2013). A saúde mental nas prisões de {Santa} {Catarina}, {Brasil}. Cadernos Brasileiros de Saúde Mental/Brazilian Journal of Mental Health, 5(12), 1–24. https://periodicos.ufsc.br/index.php/cbsm/article/view/68595
Gussak, D. (2009). The effects of art therapy on male and female inmates: Advancing the research base. The Arts in Psychotherapy, 36(1), 5–12. https://doi.org/10.1016/j.aip.2008.10.002
Kaeble, D., & Glaze, L. E. (2016). Correctional populations in the united states, 2015. In Bureau of Justice Statistics. https://bjs.ojp.gov/library/publications/correctional-populations-united-states-2015
Narayan, A. J., Kalstabakken, A. W., Labella, M. H., Nerenberg, L. S., Monn, A. R., & Masten, A. S. (2017). Intergenerational continuity of adverse childhood experiences in homeless families: Unpacking exposure to maltreatment versus family dysfunction. The American Journal of Orthopsychiatry, 87(1), 3–14. https://doi.org/10.1037/ort0000133
Palmer, E. J., & Connelly, R. (2005). Depression, hopelessness and suicide ideation among vulnerable prisoners. Criminal Behaviour and Mental Health: CBMH, 15(3), 164–170. https://doi.org/10.1002/cbm.4
Taylor, J. A. (1953). A personality scale of manifest anxiety. Journal of Abnormal Psychology, 48(2), 285–290. https://doi.org/10.1037/h0056264
Wong, S. C. P., Gordon, A., & Gu, D. (2007). Assessment and treatment of violence-prone forensic clients: an integrated approach. The British Journal of Psychiatry, 190(S49), s66--s74. https://doi.org/10.1192/bjp.190.5.s66
World Health Organization Regional Office for Europe. (2007). Trencin statement on prisons and mental health. https://www.euro.who.int/en/health-topics/health-determinants/prisons-and-health/publications/2007/trencin-statement-on-prisons-and-mental-health
Catatan kaki
Author notes
indrionohadi@gmail.com