Ringkasan: Dari wawancara kepada 10 responden mengatakan bahwa kondisi yang dialami saat ini yaitu mudah lelah, pusing, kurang nafsu makan, aktivitas dibantu oleh keluarga, dan tidak bisa bekerja seperti biasanya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh pursed lips breathing terhadap fatigue pada pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rumah sakit umum daerah Bahteramas. Jenis Penelitian ini adalah penelitian semua kuantitatif dengan pra-pasca tes tanpa adanya kontrol. Sampel sebanyak 20 responden yang ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Data dianalisis menggunakan uji statistik paired t-test. Hasil uji statistik didapatkan nilai p 0.000. Ada pengaruh pursed lip breathing pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan kondisi fatigue. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk mengimplementasikan pursed lip braething pada pasien yang menjalani hemodialisa.
Kata kunci: Pursed lip breathing,Fatigue,Hemodialisis,Gagal ginjal kronik.
Abstract: From interviews with 10 respondents said that the current conditions experienced were tiredness, dizziness, lack of appetite, activities assisting by their families, and they could not work as usual. The aim of this study was to identify the effect of pursed lips breathing on fatigue in patients with chronic renal failure in the hemodialysis room at Bahteramas hospital. This type of research was a quantitative quasi-experimental study with pre-post test without control. The sample consist of 20 respondents collected using purposive sampling technique, and method of data analysis using paired sample t-test. The p value of statistical anaysis was 0.000. There was an effect of pursed lip breathing on chronic renal failure patients with fatigue.
Keywords: Pursed lip breathing, Fatigue, Chronic renal failure, Hemodialysis.
Original Research
Pengaruh Pursed Lip Breathing terhadap Fatigue Pasien GGK di Ruang Hemodialisa RSUD Bahteramas
The Effect of Pursed Lip Breathing on Fatigue in CKD Patients in the Hemodialysis Room at Bahteramas Hospital
Published: 30 December 2018
Corresponding author: mamanindrayana94@gmail.com
Di Amerika, pasien dialisis lebih dari 500 juta orang yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah. Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar 12,5 % dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Indonesian Renal Registry, 2015).
Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut- turut) oleh dokter (Davey, 2005). Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Data rumah sakit Bahteramas Kendari pada tahun 2016 menunjukkan pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sebanyak 38 orang. Peningkatan yang signifikan terjadi sepanjang tahun 2017 yaitu jumlah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa menjadi 156 orang. Sedangkan data pada tahun 2018 untuk 4 bulan yaitu Januari sampai April menunjukkan jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak 51 orang (Rumah Sakit Umum Bahteramas, 2018). Observasi awal yang dilakukan peneliti pada 10 responden, 6 responden mengatakan bahwa kondisi yang dialami saat ini yaitu mudah lelah, pusing, kurang nafsu makan, aktivitas dibantu oleh keluarga, sedangkan 4 responden lainnya mengatakan mereka tidak bisa bekerja seperti biasanya.
Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia. Kelelahan merupakan salah satu gejala yang sering dialami oleh pasien. Gangguan yang bisa terjadi pada penderita GGK antara lain udema paru, hipertensi, pruritus, ensefalofeti, cegukan, hiperkalemia, mual, muntah, malaise, anoreksia, dan anemia kronis yang terjadi akibat defisiensi eritropoietin ditambah dengan masa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek sehingga menimbulkan fatigue/kelelahan (Smeltzer et al., 2001).
Hemodialisis masih menjadi terapi utama dalam penanganan gangguan ginjal kronik, namun memiliki dampak yang bervariasi, diantaranya komplikasi intradialisis, efek hemodialisis kronik berupa fatigue. Terdapat beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi kondisi fatigue pada pasien hemodialisis yaitu uremia, anemia, malnutrisi, depresi, dan kurangnya aktivitas fisik. Uremia pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan pasien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, kehilangan energi dan protein, dan penurunan produksi karnitin yang menyebabkan penurunan produksi energi untuk skeletal dan mengakibatkan fatigue (Wijaya & Putri, 2013).
Fatigue adalah perasaan subyektif yang tidak menyenangkan berupa kelelahan, kelemahan, dan penurunan energi dan merupakan keluhan utama pasien dengan hemodialisis. Dampak lanjut fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisis diantaranya terganggunya fungsi fisik dalam melakukan aktivitas sehari–hari, perubahan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, perubahan fungsi seksual, perubahan spiritual dan kualitas hidup (Sodikin & Suparti, 2015).
Pasien yang sudah lama menjalani hemodialisis akan memiliki kadar ureum dan kreatinin yang tinggi. Ureum yang tinggi akan mengganggu produksi hormone eritropoietin. Akibatnya jumlah sel darah merah menurun atau yang disebut anemia. Akibatnya pasien akan mengalami lelah, letih, lesu yang merupakan gejala fatigue. Selain kelelahan dan kelemahan, komplikasi yang terjadi saat berlangsungnya hemodialisis yaitu Dialysis Disequilibrium Syndrome (DSS). DSS yaitu proses pengeluaran cairan dan urea dari dalam darah yang terlalu cepat selama hemodialisis. Tanda dari DSS berupa sakit kepala tiba-tiba, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, jantung berdebar-debar, disorientasi dan kejang. Apabila DSS tidak terdeteksi, klien dapat menjadi koma yang berakhir kematian (Wijaya & Putri, 2013).
Terapi Non Farmokologis pada pasien GGK yaitu dengan breathing exercise. Breathing exercise adalah teknik penyembuhan komplementer terhadap fatigue. Breathing exercise yang dimaksud yaitu pursed lips breathing yang merupakan salah satu terapi dasar untuk menurunkan respons nyeri, stress, fatigue, kardio pulmonal, dan gangguan respiratori. Dengan pursed lip breathing akan mempertahankan tekanan intra alveolar yang tinggi dan memungkinkan oksigen terdistribusi ke kapiler alveolar sehingga tubuh mendapatkan input oksigen yang adekuat (Septiwi, 2013).
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan semi eksperimen. Semi eksperimen adalah penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada sekelompok responden dengan atau tanpa kelompok perbandingan namun tidak dilakukan randomnisasi untuk memasukan subjek dalam kelompok perlakuan atau kontrol (Dharma, 2011). Dalam penelitian ini memberikan intervensi pada satu kelompok tanpa perbandingan. Penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh pursed lips breathing terhadap fatigue pasien GGK.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2018 di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Bahteramas.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosa gagal ginjal kronis dan menjalani hemodialisa dengan kondisi fatigue di Rumah Sakit Umum Daerah Bahteramas yang berjumlah 51 pasien. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik dengan kriteria tertentu. Cara pengambilan sampling menggunakan purposive sampling (Dharma, 2011).
Pertama-tama menberi kode pada lembar kuisioner. Pengisian berdasarkan pelaksanaan setiap indikator yang diamati pada responden tersebut kemudian dilakukan editing untuk meneliti setiap item penilaian/memeriksa data yang telah dikumpulkan. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap pelaksanaan indikator yang diteliti, setelah itu dilakukan skoring yaitu memberi skor pada data yang telah dikumpulkan. Dan tahap akhir tabulasi data yang merupakan kelanjutan dari pengkodean pada proses pengolahan dalam hal ini setiap data tersebut dikoding kemudian ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk distribusi frekuensi.
Pada analisa data dilakukan dalam dua cara yaitu analisa univariat untuk menganalisis secara deskriptif atau persentase atau gambaran variabel-variabel penelitian dalam hal ini adalah kondisi fatigue, sebelum dan setelah pursed lip breathing dilakukan. Dan analisis data dengan menggunakan uji statistik Paired T-Test dan dianalisis secara bivariat menggunakan program SPSS.
Frekuensi usia tertinggi yaitu berada pada rentan usia 37-44 tahun berjumlah 7 responden (35.%) sedangkan usia terendah berada pada rentan usia 21-28 tahun berjumlah 1 responden (5.%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t001
Responden berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki berjumlah 13 responden (65%) sedangkan perempuan berjumlah 7 responden (3.5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t002
Responden berdasarkan pendidikan yang tertinggi adalah SMA berjumlah 12 responden (60%) sedangkan perempuan berjumlah SMP berjumlah 1 responden (5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t003
Responden berdasarkan pekerjaan yang tertinggi adalah wiraswasta berjumlah 7 responden (35%) sedangkan tidak bekerja 3 responden (15%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t004
Frekuensi responden yang menderita GGK dan menjalani hemodialisa yang tertinggi adalah satu tahun berjumlah 8 responden (40%) sedangkan yang terendah yaitu delapan tahun berjumlah 1 responden (5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t005
Dari tabel diatas terdapat 15 responden (75%) yang mempunyai nilai fatigue 5, sedangkan 2 responden (10%) yang mempunyai nilai fatigue 6.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t006
Terdapat 9 responden (45%) yang mempunyai nilai fatigue 4, sedangkan 1 responden (5%) yang mempunyai nilai fatigue 5.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t007
Rata-rata fatigue sebelum dilakukan pursed lips breathing adalah 4.95 dengan standar deviasi 0.510. Setelah dilakukan pursed lips breathing rata-rata fatigue responden adalah 3.40 dengan standar deviasi 0.821. Perbedaan nilai mean fatigue sebelum dan setelah dilakukan pursed lips breathing adalah 1.55. Hasil uji paired t-test di dapatkan nilai p 0.000.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t008Hasil Penelitian pada 20 responden dalam penelitian ini, responden mengalami fatigue dengan nilai yang bervariasi (Tabel 6). Hal ini disebabkan oleh kondisi uremia, dan anemia pada responden dengan Hb rata-rata 6 g/dL. Uremia pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan pasien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, kehilangan energi dan protein, dan penurunan produksi karnitin yang menyebabkan penurunan produksi energi sehingga mengakibatkan fatigue (Wijaya & Putri, 2013).
Anemia merupakan gambaran adanya kondisi fatigue secara fisiologis. Pasien akan mulai merasakan fatigue jika kadar HB sebesar 10 gr/dl. kondisi pasien yang tidak sesuai target kadar HB akan mengalami fatigue yang tidak dapat dihilangkan dengan istirahat sehingga perlu tindakan paliatif berupa latihan, aktivitas sesuai dengan kemampuan dan tranfusi darah.
Hasil penelitian pada 20 responden memberikan dampak positif setelah dilakukan pursed lip breathing dengan lima sampai tujuh kali pengulangan yang menunjukan adanya penurunan fatigue pada semua responden dengan tingkat yang bervariasi. Perbedaan penurunan disebabkan oleh kondisi dan usia responden (Tabel 1) dalam melakukan pursed lip breathing.
Napas dalam merupakan salah satu teknik pernapasan secara mandiri untuk meningkatkan ventilasi paru, dan meningkatkan perfusi oksigen ke jaringan perifer dan merupakan salah satu bentuk terapi yang mampu meringankan gejala kelelahan. Hasil penelitian Aini et al (2008) menunjukan faktor usia mempengaruhi fungsi ventilasi paru responden setelah breathing retraining. Semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi parunya akan semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin menurunnya elastisitas dinding dada, selama proses penuaan terjadi penurunan kapasitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan kapasitas paru dan peningkatan jumlah ruang rugi. Perubahan ini menyebabkan penurunan kapasitas difusi oksigen.
Pursed lip breathing dilakukan dalam 5 menit dan 7 kali pengulangan. Pelaksanaan dilakukan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diambil dari Smeltzer et al (2001). Sedangkan kuesioner dalam penelitian ini menggunakan VAFS (Visual Analogue Fatigue Scale) (Strebkova et al., 2017). VAFS digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan sebelum dan sesudah dilakukan pursed lip breathing.
Hasil uji statistik menggunakan metode paired T-Test dan nilai p 0.000 (Tabel 8). Terdapat perbedaan nilai fatigue sebelum dan setelah dilakukan pursed lips breathing (Tabel 6 & Tabel 7).
Hal ini sejalan dengan penelitian Septiwi (2013) yang menunjukan hasil uji statistik mengunakan metode paired T-Test, nilai p dibawah 0,05. Pursed lip breathing dapat diterapkan di ruang hemodialisis karena mudah dipelajari, dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, tidak memerlukan alat dan tempat yang khusus, dan tidak membahayakan. Breathing exercise merupakan intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fatigue. Latihan yang kontinyu dapat meningkatkan kesehatan, sehingga kualitas hidup pasien GGK yang menjalani hemodialisis akan meningkat (Astuti et al., 2018).
Hasil Penelitian pada 20 responden sebelum dilakukan pursed lip breathing terdapat 15 responden (75%) yang mempunyai nilai fatigue 5, sedangkan 2 responden (10%) yang mempunyai nilai fatigue 6. Hasil Penelitian pada 20 responden setelah dilakukan pursed lip breathing terdapat 9 responden (45.0%) yang mempunyai nilai fatigue 4, sedangkan 1 responden (5.0%) yang mempunyai nilai fatigue 5.
mamanindrayana94@gmail.com
Frekuensi usia tertinggi yaitu berada pada rentan usia 37-44 tahun berjumlah 7 responden (35.%) sedangkan usia terendah berada pada rentan usia 21-28 tahun berjumlah 1 responden (5.%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t001Responden berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki berjumlah 13 responden (65%) sedangkan perempuan berjumlah 7 responden (3.5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t002Responden berdasarkan pendidikan yang tertinggi adalah SMA berjumlah 12 responden (60%) sedangkan perempuan berjumlah SMP berjumlah 1 responden (5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t003Responden berdasarkan pekerjaan yang tertinggi adalah wiraswasta berjumlah 7 responden (35%) sedangkan tidak bekerja 3 responden (15%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t004Frekuensi responden yang menderita GGK dan menjalani hemodialisa yang tertinggi adalah satu tahun berjumlah 8 responden (40%) sedangkan yang terendah yaitu delapan tahun berjumlah 1 responden (5%).
URI: https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t005Dari tabel diatas terdapat 15 responden (75%) yang mempunyai nilai fatigue 5, sedangkan 2 responden (10%) yang mempunyai nilai fatigue 6.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t006Terdapat 9 responden (45%) yang mempunyai nilai fatigue 4, sedangkan 1 responden (5%) yang mempunyai nilai fatigue 5.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t007Rata-rata fatigue sebelum dilakukan pursed lips breathing adalah 4.95 dengan standar deviasi 0.510. Setelah dilakukan pursed lips breathing rata-rata fatigue responden adalah 3.40 dengan standar deviasi 0.821. Perbedaan nilai mean fatigue sebelum dan setelah dilakukan pursed lips breathing adalah 1.55. Hasil uji paired t-test di dapatkan nilai p 0.000.
https://purl.org/10.36990/hijp.v10i2.82.t008